CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Sunday, March 15, 2009

sepenggal cerita tentang cinta

Aku menutup telingaku rapat-rapat. Teriakan-teriakan itu terdengar lagi. Bercampur dengan isak tangis dan bentakan-bentakan. Tak ada yang lebih buruk lagi dari malam ini. Malam yang mungkin akan merubah hidupku. Aku cuma bisa diam dalam kamar, sambil menghitung tetes demi tetes air mataku yang mengalir turun mengiringi teriakan-teriakan itu. Tiap malam aku mendengarnya. Dan luka itu semakin menganga - robek oleh pisau cinta yang mereka tawarkan beberapa waktu silam.

Kepalaku berdenyut-denyut. Telingaku berdenging. Mataku panas. Dan mulutku gatal mengucapkan sumpah-serapah yang biasa kudengar di kalangan orang-orang yang tak berpendidikan macam tukang becak dan pemuda-pemuda pengangguran yang nongkrong di pinggir jalan sambil menikmati teriknya matahari jam dua belas siang.

Tanpa kusadari kakiku melangkah ke ruang tengah. Pemandangan menyakitkan itu membuat luka di hatiku kian menganga. Aku sendiri tidak yakin apakah luka itu akan sembuh seperti sediakala.

"Papa!" Aku berjongkok dan melihat darah di kening wanita yang melahirkan aku dan menyekanya dengan tanganku. "Apa yang Papa lakukan?"

Pria di hadapanku yang selalu mengajarkanku arti kasih sayang dan kelemah lembutan itu menggeram. "Tanyalah Mamamu apa yang telah ia perbuat! Kalau dia pikir Papa dapat memaafkan Mamamu atas perselingkuhannya dengan Om Jerry, langkahi dulu mayat Papa!"

"Aku tidak selingkuh jika itu yang kau pikir! Semuanya itu bisa aku jelaskan asal kau beri aku kesempatan!"

Orang yang biasa kupanggil Papa itu cuma tersenyum sinis. "Dua tahun kau menipuku. Tak ada lelaki yang sesabar aku untuk menanti istrinya berkata jujur padanya!"

"Papa!" Aku menahan tangannya yang sudah akan menampar Mama. "Tidak adakah lagi rasa cinta di hati Papa terhadap Mama sampai-sampai Papa tega menyakiti Mama? Secuil pun tidak ada?"

Papa tertawa. Giris. Dan memilukan. Seperti mendengar Lucifer tertawa karena manusia-manusia yang jatuh dalam pelukannya semakin bertambah.

"Cinta? Papa menyesal pernah mencintainya! Papa ajarkan padamu, Re, jangan pernah memberikan seluruh cintamu kepada seseorang atau kau akan merasakan betapa sakitnya engkau saat cinta itu mulai berpaling!"

Bunyi logam yang terjatuh di lantai memaksaku memalingkan wajahku dari Papa. Aku cuma bisa terpana melihat Mama bersimbah darah dengan pisau tertancap di perutnya. Semuanya mendadak gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Yang kuingat cuma satu, yaitu ajaran terakhir Papa padaku soal cinta!

* * * * *
Aku terjaga dari tidurku. Semilir angin menerobos masuk lewat celah-celah jendela kamarku. Kejadian dua tahun yang lalu itu mengusikku lagi. Begitu jelas dan masih segar dalam ingatanku urut-urutan kejadian itu, tidak seperti video lama yang rusak karena berulang kali diputar oleh pemiliknya.

Tidak ada air mata keluar. Air mataku sudah habis. Mungkin aku bisa dibilang manusia tanpa jiwa. Aku setuju dengan pendapat itu. Karena bagiku jiwaku sudah mati tatkala Mama menancapkan pisau itu di perutnya sendiri - dua tahun yang lalu.

Aku ini binatang jalang, yang dari kumpulannya terbuang. Puisi ‘Aku’ milik Chairil Anwar itu tiba-tiba terlintas dalam benakku. Dan aku tersenyum pahit. Kalau masih ada manusia yang bisa disebut binatang jalang, maka akulah yang paling pantas mendapat sebutan itu. Papa sudah membuangku. Kakek dan Nenek tidak pernah menganggapku ada lagi. Aku sudah dicampakkan. Hampir dua tahun sejak kejadian itu, aku tidak pernah bertemu Papa. Aku tak tahu kemana dia pergi. Dan aku memang tidak begitu peduli. Jika aku mendengar ia sudah mati pun mungkin aku akan bersorak gembira seperti para bintang film Hollywood yang menerima piala Oscar sekaligus menangis sedih seperti anak manja yang kehilangan kucing kesayangannya. Aku cuma butuh uangnya. Paling tidak - sampai aku lulus dan tidak bergantung pada siapapun. Dan karena uangnya masih mengalir dalam kantungku, aku pun tahu bahwa lelaki itu masih hidup. Entah dimana.

Aku bangkit dari tempat tidurku. Kulirik jam weker di samping tempat tidurku. Pukul lima lebih dua puluh empat menit. Sayup-sayup terdengar suara tukang sayur yang memulai pekerjaannya di luar rumahnya. Disusul gonggongan anjing tetangga sebelah yang sedang bermain-main dengan tuannya. Kemudian terdengar debat tawar-menawar antara tukang sayur itu dengan pembantu tetangga depan rumah. Sesuatu yang hanya membuang-buang waktu saja, menurutku. Tukang sayur itu pasti punya cukup alasan untuk menaikkan harganya sampai setinggi langit. Buat apa orang-orang merepotkan diri mereka sendiri hanya untuk selisih harga yang tak seberapa?

Aku menegak susu coklat yang sudah disediakan oleh Mbok Min di atas meja makan ketika aku mendengar bunyi bel pintu. Sambil merapikan penampilanku (karena aku enggan bertemu orang dalam keadaan berantakan), aku menuju ruang tamu sambil mengintip dari jendela. Seorang laki-laki. Muda. Ia menanti di depan pintu pagar untuk dibukakan.

Sejenak aku terpaku. Ada dorongan yang maha kuat di dalam diriku untuk membukakan pintu pagar itu. Padahal, aku tidak pernah mau membukakan orang asing di rumahku ini. Orang asing urusan Mbok Min. Dan selama ini Mbok Min tidak pernah kesulitan menghadapi orang-orang asing yang datang dan pergi.

Tanpa sadar kulangkahkan kakiku sambil bertanya-tanya siapa gerangan pemuda itu.

"Selamat pagi, Nona. Bisa menganggu sebentar?" sapa pemuda itu hangat. Senyumnya memberikan setitik kesejukan di hatiku.

Aku mengangkat alisku. "Ada apa?"

Pemuda itu tertawa - meninggalkan debaran aneh dalam jantungku. "Begitukah selalu sapaanmu pada setiap orang? Pantas anak kecil itu begitu takut padamu sampai-sampai tidak berani meminta bolanya yang terjatuh di halaman rumahmu."

Aku memandang pemuda itu dingin. Siapa dia sebenarnya? Apa haknya mengatakan hal seperti itu padaku? Pernah melihat wajahnya pun tidak!

"Begitu," sahutku dingin. "Akan kusuruh pembantu untuk mengambilkannya untukmu." Tanpa mempedulikan pemuda itu lagi, aku membalikkan badanku dan merutuki diriku sendiri karena aku masih ingin mengobrol dengannya.

"Hei! Tidak bisakah kau bukakan pagar sialan ini? Mungkin pagar inilah yang memisahkanmu dengan manusia-manusia lainnya!"

Langkahku terhenti. "Memang begitu maksudku."
* * * * *
Bisikan-bisikan itu terdengar lagi. Suara orang-orang yang memiliki sedikit waktu untuk bekerja dan banyak waktu untuk bergosip. Aku sudah kebal dengan itu semua. Aku tokh sampai detik ini dapat hidup tanpa mereka. Tak ada gunanya berteman dengan penggosip-penggosip macam itu. Aku sudah tahu apa yang mereka gosipkan. Mendengar apa yang mereka bicarakan. Dan kenyang dengan hinaan mereka. Asalkan mereka tidak menyentuh kulitku, akan kubiarkan mereka berbuat semau mereka.

"Rupanya kau sudah terbiasa dengan hal semacam itu?"

Aku menoleh ke arah suara yang dengan berani menyapa dekat telingaku. "Kau!"

Pemuda itu tersenyum. Dan sekali lagi menitikkan kesejukan dalam hatiku. "Aku senang kau masih mengingatku. Kita belum kenalan." Ia mengulurkan tangannya.

Aku melirik sekilas tangannya yang kekar. "Haruskah aku mengulurkan tanganku juga?"

Sembur tawa keluar dari mulutnya. "Untuk bergandengan tangan, diperlukan dua tangan atau lebih. Begitu juga persahabatan. Terjalin erat jika dua orang atau lebih menyatukan hati mereka."

Mulutku terkunci. Tapi telingaku tidak. Terdengar asing kata persahabatan itu. Sejenis makanan kah? Atau semacam filsafat kehidupan yang biasa menjadi topik ceramah di televisi dan radio yang bagiku merupakan kemunafikan?

Suara tawa mesra di belakangku membuatku menoleh. Sebuah pemandangan yang mengiris jiwaku ada di depan mataku. Si laki-laki membisikkan racun manis di telinga si perempuan dan perempuan itu menghisapnya begitu saja. Tangan yang melingkar di pinggangnya itu mungkin akan melingkar di pinggang perempuan lain di suatu waktu. Tak ada yang tahu. Tak ada yang kekal, bukan di dunia ini?

"Kelihatannya kau jijik dengan yang namanya cinta dan persahabatan. Mungkin bahkan kau tak tahu arti dua kata tersebut. Tidak heran mulutmu lebih senang tertutup daripada mengumbar kata-kata."

Aku tertegun mendengar kata-kata pemuda itu. Menghunjam dalam di hatiku.

"Setahun yang lalu ada seorang laki-laki membuat seribu burung dari kertas untuk satu-satunya perempuan yang ia cintai karena perempuan itu menderita sakit yang tak dapat disembuhkan. Ia buat dengan sepenuh hati dan mempersembahkannya dengan air mata. Ajaibnya, perempuan itu sembuh. Kau tahu kenapa? Karena cinta. Cinta lelaki itu begitu besar dan ia membuat burung itu satu per satu disertai doa dengan satu permintaan - kesembuhan perempuan yang ia cintai."

Aku tersenyum sinis. "Lelaki bodoh."

Pemuda itu mengangguk. "Benar. Tapi kebodohannya-lah yang menyebabkan perempuan itu sembuh."

Aku tertegun mendengarnya. Dan sebelum bisa mencerna apa yang ia ucapkan ia sudah melambaikan tangannya.

"Siapa namamu?" Pertanyaan itu terlontar keluar dari mulutku tanpa kusadari.

Pemuda itu menoleh. Terlihat lega. "Michael. Senang berkenalan denganmu, Re."

Ia kenal aku!
* * * * *
"Selamat siang, Re. Boleh duduk disini?"

Siang hari yang terik. Menyebabkan aku betah bertandang di kantin kampus yang terkenal ini. Kantin yang lebih pantas disebut kafe. Pantas semakin hari biaya untuk masuk ke kampus ini semakin mencekik leher.

"Tidak ada yang melarang."

Pemuda yang mengaku bernama Michael itu tersenyum. Seolah-olah ia mengerti bahwa setiap kali ia tersenyum, setitik kesejukan hadir dalam hatiku. Dan terkutuklah aku, jika tidak mengakui bahwa aku menunggu senyumnya tiap waktu!

"Mau mengantarkanku ke rumah sakit?"

Ada sesuatu di leherku yang membuatku terbatuk-batuk begitu mendengar permintaannya. "Rumah sakit?"

Ia mengangguk. "Kutunjukkan sesuatu untukmu."

Dan disinilah aku. Bersama pemuda itu. Bersama Michael. Bau yang tajam menusuk hidungku. Membuat perutku serasa diaduk-aduk. Terdengar tangis bayi dari kejauhan dan rengekan-rengekan anak-anak kecil, juga omelan dari para perawat dan orang tua yang anaknya terlalu nakal untuk diobati.

"Kau lihat anak kecil itu, Re?"

Aku mengikuti pandangannya - masuk ke ruangan berkaca yang biasa digunakan untuk para pendonor darah. Seorang anak laki-laki dengan mata terpejam membiarkan jarum suntik yang panjang itu menghisap darahnya. Di mataku, dokter itu terlihat seperti drakula yang haus darah.

"Ia harus mendonorkan darahnya untuk adiknya."

"Sekecil itu?"

"Hanya dengan darahnya, adiknya bisa sembuh."

Aku cuma mendengus ketika dokter yang kukatakan drakula itu keluar dari ruangannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ada apa, Dok?" tanya Michael.

Dokter itu menyunggingkan senyum tak mengerti. "Anak kecil itu punya jiwa pemberani. Ia mengira setelah memberikan darahnya untuk adiknya, ia akan mati. Tapi tokh, ia tetap melakukannya. Ketika saya bertanya mengapa, ia menjawab karena ia sudah hidup lebih lama dari adiknya dan tidak adil jika adiknya menikmati hidup ini lebih pendek darinya. Dan ia mengalah." Dokter itu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi dan berlalu dari situ.

"Mungkin aku lebih mengerti perasaan anak kecil itu daripada dokter tadi. Karena cintanya pada adiknya itulah yang mendorongnya memberikan hidupnya - darahnya. Mungkin anak kecil itu belum mengerti tentang hidup, tapi ia mengerti betul tentang cinta."

Aku cuma menatapnya. Dengan tatapan yang lebih hangat - kukira.

* * * * *

Hari ini Michael mengajakku ke sebuah pernikahan. Disitulah aku - duduk manis sambil mendengarkan ikrar yang diucapkan pengantin pria dan wanita sambil tersenyum pahit. Akankah ikrar yang diucapkan hari ini masih diingat sepuluh tahun lagi? Dua puluh tahun? Atau bahkan lima puluh tahun? Bagiku, ikrar itu cuma sebuah formalitas. Suatu syarat untuk hidup bersama tanpa gunjingan dan hinaan tetangga kanan kiri.

"Tak ada yang tahu apakah ikrar itu akan terus mereka pegang sampai mereka mati. Kau benar, Re. Ikrar itu akan menjadi sebuah formalitas dan alasan klise untuk hidup bersama jika tidak didasari dengan cinta."

Aku melirik heran. Pemuda ini tahu benar perasaanku. Ia dapat membaca apa yang kupikirkan. Kadang-kadang bahkan kata-katanya dapat menelanjangi diriku - membuka apa saja yang ada dalam diriku dan memoleskan sesuatu yang baru di atasnya.

Cinta membuat ikrar yang terdengar klise itu begitu indah. Dan bukan lagi sesuatu yang harus mereka lakukan sebelum melangkah lebih jauh lagi. Karena dengan cinta, segala sesuatu yang biasa menjadi tidak biasa, yang buruk menjadi cantik dan memiliki orang-orang yang kita cintai adalah hal yang paling indah di dunia.

Aku bangkit dari tempat dudukku sambil mengatupkan geraham dan melangkah keluar. Apa yang ia tahu tentang cinta?! Papa dan Mamaku pun dulu pasti mengucapkan kata-kata yang persis dikatakan pengantin itu di hari pernikahan mereka! Lalu? Apa yang terjadi? Penyesalan! Menyesal karena pernah mencintai dan dicintai! Menyesal pernah mengungkapkan ikrar itu! Ikrar yang mungkin terlalu membelit bagaikan lumpur penghisap! Dan tak ada yang dapat mereka lakukan selain menggapai-gapai sambil menunggu uluran tangan seseorang yang mungkin takkan pernah datang!

"Aku mengerti perasaanmu, Re. Tidakkah kau sadari? Dengan cinta, Mamamu mengandung dan melahirkan engkau. Dengan cinta Papa dan Mamamu membesarkanmu. Dengan cinta juga, Papa dan Mamamu mengajarkan arti kehidupan. Sekarang kau muak dengan cinta. Padahal karena cinta pada Papamu lah yang menyebabkan Mamamu menusuk pisau itu ke perutnya sendiri. Mungkin baginya lebih baik mati daripada tidak dicintai lagi oleh Papamu. Karena cinta jugalah yang menyebabkan Papamu kalap memukul Mamamu. Bukan cinta yang patut disalahkan karena itu semua. Ibarat pisau, yang dibuat bukan untuk membunuh, tapi digunakan untuk membunuh. Bukan pisau itu yang salah, tapi si pemakainya. Begitu juga cinta, Re. Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Jika cinta tidak mendatangkan kebahagiaan, itu bukanlah cinta. Jika cinta tidak mendatangkan kedamaian, itu juga bukanlah cinta... ."

"Tutup mulutmu!" Aku memandang nanar pemuda di hadapanku sambil menutupi telingaku. "Siapa kau?! Tahu apa kau tentang aku?!" Dan untuk pertama kalinya setelah kematian Mama, air mataku mengalir. "Kau tidak tahu apa-apa tentang aku!"

Pandangan di hadapanku terlihat buram karena tertutup air mata, tapi kupaksakan kakiku melangkah cepat menjauh dari Michael - pemuda yang sudah meracuni hidupku beberapa hari ini.

"Re...!!!!!"

Aku mendengar teriakan itu. Kemudian suara klakson yang bersahut-sahutan. Disusul jeritan-jeritan tertahan dari orang-orang di sekelilingku. Kurasakan tubuhku terdorong dan menabrak pinggiran trotoar yang sudah hancur dimakan usia dan tak pernah diperbaiki. Sesaat mataku terpejam - menahan sakit yang tak terkira pada tubuhku. Seseorang menggenggam tanganku. Saat kubuka mataku, darah menetes di keningku. Wajah pemuda yang amat kukenal tersenyum hangat meskipun darahnya menetes-netes - seolah-olah tahu, hanya dengan senyumnya dapat kurasakan setitik kesejukan dalam hatiku.

"Jika kau terluka oleh cinta, dan kecewa ketika cinta itu berpaling darimu, berbahagialah karena cinta itu tumbuh di hatimu karena hanya dengan cinta kau dapat hidup, Re...."

Dunia sudah kiamat.
* * * * *
Pelan-pelan kubuka mataku. Putih. Semua putih. Dimanakah aku? Di Surga? Di Neraka? Atau tempat yang tak kukenal sama sekali? Hei! Katakan sesuatu padaku... . Tenggorokanku tersumbat. Rasa nyeri itu datang lagi - membuatku menggigit bibirku.

"Ia sudah sadar, Dok."

"Re."

Aku membuka mataku lebih lebar lagi mendengar suara itu. Suara yang sudah lama tak kudengar. Dan tatkala aku mendengarnya, aku sendiri tidak menyangka aku merindukan suara itu.

"Papa...."

"Re..., Anakku... ."

Wajah Papa yang mula-mula cuma bayangan kini terlihat jelas. Tidak kulihat lagi mata buas yang menghardikku pada malam dua tahun yang lalu itu. Tak ada lagi kemarahan dan dendam di matanya. Tangannya bahkan menggenggam tanganku lembut.

"Maafkan Papamu, Nak. Papa ... ."

Aku memegang tangannya. Rasa nyeri itu datang lagi. Bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Dan aku mengerti, waktuku tidak banyak.

"Re senang Papa mengerti. Re sudah maafkan Papa ...." Kalimatku terhenti ketika batuk yang tersembur dari mulutku mengeluarkan darah.

"Ia pendarahan, Dok!"

Aku mencegah mereka melakukan segala sesuatu yang mungkin akan menghentikan waktuku yang berharga dengan Papaku - orang yang baru kusadari amat kucintai dengan gerakan tanganku. Dokter itu mengerti dan membiarkan aku melanjutkan kalimatku.

"Pa..., pemuda itu sudah menyelamatkan Re. Bukan hanya tubuh Re, tapi juga jiwa Re. Re sudah lega, Pa. Re sudah menemukan hidup Re lagi. Semua berkat pemuda itu. Pemuda bernama Michael."

Papa mengerutkan kening. "Pemuda mana? Kau yang menyelamatkan dirimu sendiri, Re. Kau yang menghindari mobil itu."

Aku menggeleng keras. Tidak mungkin! "Tidak, Papa. Percaya sama Re. Pemuda itu juga terluka, Papa. Ia pasti juga dibawa ke rumah sakit! Michael yang menyelamatkan Re!"

Rasa nyeri itu datang lagi membuatku terbatuk-batuk makin keras dan mengeluarkan darah makin banyak. Nafasku tersengal-sengal. Tanganku semakin kuat menggenggam tangan Papa.

"Mungkin Michael seorang malaikat, ya, Pa, yang diutus Tuhan buat Re. Sudah lama hati Re beku tak kenal musim."

Aku terdiam sejenak. Kusentuh pipinya yang mulai keriput termakan usia dengan tanganku yang sudah berlumuran darah. "Pa, jika Papa terluka karena cinta dan kecewa karena cinta itu berpaling dari Papa, berbahagialah karena cinta itu tumbuh di hati Papa...."

Setetes air jatuh di lenganku. Aku tahu itu milik Papa. Dan aku yakin, Papa sama seperti aku. Kami sama-sama menemukan kembali jiwa kami. Sama-sama menutup luka di hati kami dengan sisa-sisa cinta yang kami miliki.

"Papa ... ."

"Ada apa, Re?"

"Aku melihatnya, Pa."

"Melihat apa?" Tangannya yang kekar menggenggam tanganku erat-erat seolah-olah aku akan terbang tinggi dan tak dapat ia jangkau.

"Aku melihat Michael. Ia memang seorang malaikat, Papa. Papa, lepaskan tangan Re. Re tahu mereka menjemput Re...."

Isakan Papa membuatku menoleh. "Re tahu Papa sedih. Tapi Papa juga harus tahu tugas Re sudah selesai. Re sudah temukan kembali jiwa Re dan jiwa Papa."

Genggaman tangan Papa malah makin erat.

Aku menghela nafas. "Tahukah, Papa? Cintalah yang mempertemukan kita berdua, Pa. Cinta jugalah yang memberikan nafas kehidupan buat Papa juga Re. Karena hanya dengan cintalah, manusia dapat hidup."

Pelan-pelan, kurasakan Papa meregangkan genggamannya. "Papa tahu, Re. Kalau kau ingin pergi, pergilah. Tapi ijinkanlah Papa mengucapkan sepercik kata terima kasih karena kau telah kembalikan hidup Papa."

Perlahan namun pasti Papa mencium keningku dengan penuh cinta, dan aku tahu Michael benar - betapa nikmatnya cinta itu! Michael tersenyum padaku. Ia mengulurkan tangannya. Dan untuk pertama kalinya, aku menyambut uluran tangannya dan memberikan senyum termanisku untuknya.

"Cinta itu indah, kan, Re?"

Surabaya, 7 Mei 2002
ps: Buat seseorang yang mengajarkanku arti cinta. Kupersembahkan dengan hatiku.

0 gave opinion(s):