CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Saturday, April 4, 2009

jalan cinta

Aku menamainya: Jalan Cinta.

Bukan aku yang memberinya nama demikian. Tapi orang-orang itulah yang mengatakannya padaku. Kata mereka, Jalan Cinta sudah ada sejak mereka masih kecil. Sejak jiwaku dititipkan pada janin ibuku. Saat itu, penasaran aku seperti apa yang namanya Jalan Cinta. Kubayangkan Jalannya bersih. Tiada debu sama sekali. Di kanan kiri ada pepohonan rindang, karenanya tiap tarikan nafas jadi penuh rasa syukur. Tapi pepohonan saja tak cukup. Pasti ada bunga-bunga, yang berwarna-warni, yang beribu-ribu pula jumlahnya. Siang terasa nyaman, malam terasa damai. Persis seperti Surga. Tempat sebelum jiwaku ngendon dalam diri seorang manusia yang bernama perempuan. Ibuku.

Tetapi kenyataannya, Jalan Cinta itu rupanya seperti jalan biasa. Bersih juga tidak. Anak-anak debu dapat bermain sambil berlarian kesana kemari. Tiada pohon rindang yang bisa kusapa, hanya satu dua pepohonan menunggu datangnya musim semi. Dan lupakan tentang bunga. Aku tak tahu mengapa jalan itu dinamai Jalan Cinta.

Aku tidak pernah berhasil memerintahkan kakiku untuk melangkah sampai ke ujung jalan. Hatiku bilang ujung jalan adalah tempat terpekat dari jalan ini. Jika demikian, pikirku, mengapa jalan ini dinamai Jalan Cinta? Suatu hari kutemukan jawabnya. Waktu itu, sambil menangis aku berlari menuju Jalan Cinta. Sesampainya aku di jalan itu, kurebahkan tubuh penatku ini dan aku sesenggukan sepuasku. Hanya pohon-pohon kurus yang jadi saksi. Sampai tiba-tiba seorang lelaki mendekatiku. Wajahnya tiada tampan, apalagi rupawan. Hanya matanya menawan hatiku, membuatnya bertekuk lutut sambil menyeret kaki-kaki ini melangkah setapak demi setapak menuju ujung jalan. Tempat terpekat itu.

Tempat itu memang pekat. Kucium sejarah yang berbau amis sekaligus segar. “Dulu,” kata lelaki itu, “aku mati disini.”

“Bohong,” kataku. “Kalau kau mati, mengapa kau ada disini?”

“Aku ini sejarah. Sejarah, biarpun dibunuh berkali-kali juga tetap bangkit.”

“Sejarah, kenapa kau mati disini?”

“Aku disiksa. Aku dianiaya. Aku dibunuh.” Ia diam sejenak. “Untuk cinta.”

“Cinta macam apa yang membuatmu dibunuh?”

“Cinta tak berbalas. Cinta sejati.”

“Kalau kau tahu cintamu tak berbalas mengapa mau mati untuknya?”

Ia mengedikkan bahunya. “Aku tak tahu. Mungkin karena selain sejarah, aku juga cinta itu sendiri.”

“Ah,” kataku, “kalau aku, biarpun tak mencintaimu, takkan membiarkanmu terbunuh.”

“Tapi kau salah satu dari mereka yang sudah membunuhku!”

Suara-suara berisik itu menyentuh gendang telingaku. Teriakan bercampur makian bercampur sorakan bercampur isakan begitu mendengung. Bertalu-talu. Dan aku melihat diriku ada disana. Ikut berteriak. Ikut memaki. Ikut bersorak. Ikut juga terisak.

“Itu bukan aku!!” Tapi teriakanku hanya memantul pada dinding-dinding udara karena lelaki itu telah pergi. Entah kemana.

*****
Selalu seperti ini. Tiap kali menangis, kakiku mengajakku ke Jalan Cinta. Seolah-olah Jalan Cinta bisa menghentikan tangisku. Terkadang kutemukan, aku tidak sendiri. Ada mereka yang juga menangis, sehingga kami bisa sesenggukan bersama sebelum berpisah kembali. Sampai bertemu aku dengan Damai. Wajahnya begitu dekat di hati, meskipun tiada tampan apalagi rupawan. Dan Damai membuatku damai.

Damai berbicara sama seperti lelaki itu. Ia pernah disiksa. Ia pernah dianiaya. Ia pernah dibunuh. Yang paling mengerikan, ia juga menuduhku salah satu dari mereka yang sudah membunuhnya. Kubilang padanya, aku tak pernah membunuh siapa-siapa. Ia cuma tertawa. Tawanya menggoda, seolah-olah aku baru saja berlelucon.

Damai tidak selalu ada tatkala aku menangis. Karena kadang-kadang, tangisku begitu keras sehingga tak kurasakan kehadirannya di dekatku. Meskipun aku butuh ia, aku lebih sering membiarkan sedihku menyumbat indera perasaku.
*****
Tangisku meledak lagi. Sedih bercampur kecewa datang bertamu sambil ongkang-ongkang kaki. Kulihat ia di Jalan Cinta. Berjalan tertatih-tatih, membawa batang kayu raksasa yang jauh lebih besar daripada tubuhnya. Apa ia hendak dibunuh lagi? Pikirku.

Kulihat ia. Damai. Cinta. Sejarah.

“Siapa kau?”

“Damai.” “Cinta.” “Sejarah.”

“Sedang apa?”

“Mereka membunuhku lagi. Kau membunuhku lagi.”

“Kau takbiarkan aku datang mengusir sedihmu,” kata Damai.

“Kau biarkan aku diartikan seenak jidat oleh mereka,” tuduh Cinta.

“Kau biarkan aku berlalu begitu saja,” ucap Sejarah.

“Apa yang harus kulakukan??” teriakku.

“Katakan pada mereka. Katakan tentang seseorang yang sudah mati untukmu. Tentang ia yang membawa damai. Tentang Cinta sejati, bukan cinta absurd dan kekanak-kanakkan seperti yang dijejalkan ke mulutmu setiap hari. Tentang Sejarah penyelamatan umat manusia di muka bumi ini. Katakan pada mereka.”
*****
Aku menamainya: Jalan Cinta. Meskipun rupanya seperti jalan biasa. Meskipun jalan itu bersih juga tidak. Meskipun anak-anak debu dengan bandelnya masih berlarian kesana kemari sambil berteriak-teriak. Meskipun masih saja hanya pohon-pohon kurus yang bisa kusapa. Meskipun tiada bunga tersenyum pada matahari. Karena aku tahu mengapa Jalan itu dinamai Jalan Cinta.

Karena disitulah kutemukan Cinta sejati. Cinta yang memberi damai. Dan takkan kubiarkan Jalan Cinta itu lengang dan sepi seperti menunggu mati. Kan kusebarkan Sejarah itu. Sejarah penyelamatan umat manusia di seluruh muka bumi ini.

- published in Majalah Berkat edisi Agustus-November -

14 February 2008
11:43 pm
“Sebelum Cinta yang sebenarnya lalu bersama sang waktu…”

baca lanjutannya...

nick

Nick. Cuma itu namanya. Ia bahkan tidak tahu nama keluarganya. Yang ia tahu, sejak kecil ia sudah tinggal bersama dengan seseorang yang biasa ia panggil ‘Tuan’. Kadang-kadang pemuda itu memanggilnya ‘ayah’, tapi lebih suka dengan panggilan ‘tuan’. Bukan. Tuannya bukan seseorang yang gila hormat. Tapi tuannya memang seseorang yang layak dihormati.

Menginjak remaja, ia belajar untuk bekerja pada tuannya. Tuannya itu melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Banyak yang bekerja dengannya. Dan semuanya menghormati sang tuan. Menyayangi beliau. Meskipun pekerjaan mereka kadang-kadang menumpuk dan sulit, tapi Nick melihat mereka tetap suka bekerja dengan tuannya. Nick juga. Banyak pengalaman yang didapat dengan bekerja bersama tuan.

Kali ini, tuan mengirim Nick ke sebuah kota di Australia setelah beberapa tahun ia bekerja di beberapa kota di Indonesia. Nama kota itu: Melbourne. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba tuannya mengirim dia kesana. Ia suka juga tinggal di Indonesia. Biarpun kadang-kadang tidak habis pikir dengan tingkah laku masyarakatnya yang rupanya lebih serius memikirkan sesuatu yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan macam keadilan dan kesejahteraan untuk negara lain atas nama persaudaraan, lebih bingung dengan penampilan fisik. Maksud Nick, mengapa mereka tidak mau lebih serius bagaimana memikirkan kesejahteraan di tubuh bangsa mereka sendiri ketimbang repot-repot mengurusi negara lain? Dan ya ampun, memangnya kenapa dengan penampilan fisik? Asal kau sehat, jiwa dan raga, bagi Nick itu sudah cukup. Peduli amat dengan iklan-iklan di tivi yang menggembar-gemborkan bahwa kulit putih itu lebih cantik, rambut panjang hitam lurus lebih menarik, tinggi langsing itu indah. Kulit hitam juga cantik jika dirawat. Bahkan bagi Nick rambut pendek keriting lebih menarik, dan kata siapa pendek mungil itu tidak menarik? Ia pernah berkenalan dengan seorang gadis yang tingginya tidak sampai seratus lima puluh sentimeter dan ia menganggap gadis itu bahkan lebih menarik daripada model iklan di majalah. Tapi mungkin karena Nick belum sanggup bekerja di Indonesia itulah yang menyebabkan tuan mengirimnya ke kota Melbourne.

Melbourne. Kota empat musim dalam sehari. Disinilah ia sekarang. Tinggal di sebuat flat kecil seharga A$ 700 per bulan. Sudah hampir dua bulan, tapi ia tahu, ia belum mengerjakan apa-apa. Hanya kebetulan mendapat pekerjaan sampingan. Berjualan baju di Victoria Market. Sebuah tempat paling favorit bagi para turis untuk membeli oleh-oleh atau souvenir murah khas Australia buat keluarga dan sahabat-sahabat mereka. Juga tempat dimana ia bisa berbelanja bahan-bahan makanan macam ikan, daging, sayuran dan buah-buahan. Pasar tradisionalnya penduduk Melbourne. Hanya tidak berbau pesing dan amis seperti pasar tradisional di Indonesia.

Baru setelah Nick tinggal di Melbourne inilah, pemuda itu mengenal transportasi baru bernama tram. Kendaraan yang unik. Itu pendapat Nick. Menggunakan tenaga listrik dan merupakan salah satu transportasi utama yang digunakan sebagian penduduk Melbourne. Ia pulang balik dari pasar ke flatnya hampir setiap hari dengan menggunakan tram. Karena itu, ia sering bertemu dengan orang-orang yang sama. Tapi tidak semua orang-orang itu dapat ia ajak bicara. Yah, sejak ia harus menggunakan tram sebagai sarana transportasi utama, ia melihat ada lima macam penumpang tram: jenis penumpang yang selalu makan (burger, sandwich, chips, dll), jenis penumpang yang menutup kupingnya dengan lagu-lagu yang dipasang dari mp3, iPod atau ponsel mereka, jenis penumpang pembaca yang menundukkan kepalanya sampai akhir perjalanan mereka, jenis penumpang berbicara baik melalui ponsel maupun dengan sesama kawan seperjalanan mereka dan jenis penumpang diam, yang hanya duduk, cepat-cepat mengambil tempat di dekat jendela kemudian melamun.

Tapi, Nick selalu mengambil kesempatan untuk, paling tidak, tersenyum tulus dari dalam hatinya sambil menyapa mereka yang kebetulan duduk disampingnya atau dihadapannya. Ketika baru pertama kali tiba di kota ini, Nick tertegun melihat kebiasaan orang-orang yang tinggal disini menyapa orang lain atau orang asing dengan ‘Hi, how’re you?’ tapi tidak benar-benar menunggu jawaban lawan bicaranya. Pernah suatu kali ia berbelanja di supermarket, sambil menghitung belanjaannya penjaga kasir yang bertugas menyapanya, “Hi, how’re you?”. Tapi jangankan menunggu jawaban Nick, penjaga itu melihat Nick pun tidak. Ia lebih sibuk mengurusi belanjaan pemuda itu dan bahkan tidak menjawab sahutan Nick. Seolah-olah sapaan itu hanya meluncur keluar dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Dan kemudian Nick terbiasa dengan sapaan itu. Berusaha beradaptasi dengan orang-orang di sekelilingnya.

Suatu petang, saat ia hendak pulang ke flatnya yang hangat (karena diluar rintik hujan di musim panas, selamat datang di Melbourne!), duduk di hadapannya seorang gadis bertubuh tambun, berambut merah, hidung bertindik dengan bintik-bintik cokelat di kedua pipinya. Jenis penumpang kategori nomor lima. Gadis itu mengenakan busana ketat yang menonjolkan payudaranya yang besar dan rok mini yang tentu saja, tidak bisa menutupi pahanya yang juga besar. Ia menghempaskan tubuhnya yang tambun itu, melihat keluar jendela, dan melirik Nick. Satu detik. Satu detik yang berharga, yang membuat Nick tidak membuang-buang waktu yang sedikit itu.

Pemuda itu tersenyum. “Hi, how’re you?” sapanya hangat.

Gadis itu mengangkat alisnya setengah tertegun. Tidak mengharapkan ada sapaan yang datang sehangat itu. Apalagi didalam tram. Tapi sejurus kemudian, ia tersenyum. Manis sekali. “Tidak jelek,” jawabnya dalam bahasa lokal. “Dan kau?”

“Sangat baik, terima kasih,” jawab Nick. “Mengapa?”

“Mengapa apa?”

Nick tertawa renyah. “Maafkan kelancangan saya. Tapi saya belajar bahwa jawaban ‘tidak jelek’ kadang-kadang bisa berarti ‘jelek sekali’.”

“Oh.” Sedetik kemudian, Nick melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Ia lalu memakai kacamata hitam (yang tidak aneh dipakai di petang hari di musim panas di Melbourne, karena gelap baru datang tatkala jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam) untuk menutupinya. Kemudian gadis itu menatap keluar jendela lagi seolah-olah diluar ada sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet. Tapi ia memandang Nick kembali dibalik kacamata hitamnya.

“Terima kasih,” katanya, “atas kepekaanmu. Tidak banyak orang peduli padaku akhir-akhir ini.”

“Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan lancang. Berani-beraninya ia bertanya. Memang betul apa yang gadis itu katakan. Orang-orang disini kadang-kadang tidak peduli. Kau mau pakai baju aneh pun tidak akan dilirik dan dipergunjingkan oleh mereka. Berbeda sekali tatkala ia naik bemo di Indonesia, seorang gadis dengan tank top dan celana ketat pun dilirik penuh nafsu oleh penumpang laki-laki, ditatap aneh seolah-olah gadis itu salah masuk kendaraan umum dan dibicarakan habis-habisan dengan keluarga dan kawan-kawan mereka begitu ibu-ibu itu turun dari bemo.

“Thanks again.” Tapi gadis itu menggelengkan kepala. Dan ketika ia melirik keluar jendela, ia segera bangkit dan menarik kabel diatas kepalanya. Tanda pemberitahuan kepada supir tram bahwa ada penumpang yang akan turun di perhentian berikut. “So, what’s your name?”

“Nick.”

“Nick.” Gadis itu mengulanginya. “Aku Anya. Senang berkenalan denganmu.”

Sekali lagi Nick tersenyum. Tulus. “Aku juga. See ya. Have a good day.”

Dan gadis itu turun. Meninggalkan bunyi berdebum diatas lantai tram karena sepatunya yang tinggi.

*****
Gadis itu lagi. Nick mengenalinya. Dan karena cuaca mendingin menjelang musim gugur, gadis itu tak lagi mengenakan busana super mini untuk menutupi tubuhnya. Sweater merah maroon dan celana jeans panjang yang menggantikan. Tangannya menggenggam sebotol Victoria Bitter yang setengah penuh. Matanya masih saja melamun, menatap keluar jendela. Seolah-olah ada sesuatu yang menarik diluar sana diantara rumah-rumah yang berderet. Ketika Nick mendekatinya untuk duduk dihadapannya, tanpa sengaja ia menendang sebuah botol bir kosong persis seperti yang gadis itu minum.

“Oh, maaf,” kata gadis itu tersadar bahwa seseorang tanpa sengaja tersandung dengan botol bekas minumannya.

“Hi, Anya,” sapa Nick sambil mengambil botol bir kosong yang baru ia tendang itu. “Ini punyamu?”

Yang disapa cuma melongo seperti kerbau dicocok hidungnya. “Nick?”

“Senang kau masih ingat namaku.”

“Seharusnya aku yang bilang begitu.”

“Oh, tidak. Sungguh. Kadang-kadang aku bertemu orang-orang yang sama di tram ini. Kami pernah berkenalan, tapi ketika kami bertemu lagi, mereka sudah tidak ingat lagi padaku. Contohnya pria tua itu.” Nick menunjuk seorang pria tua yang duduk tak jauh dari tempat duduknya. “Hi, Eddie!” Pria tua itu menjawab sapaan Nick dengan tatapan bingung, kemudian menundukkan kepala membaca buku. “Betul kan?”

Anya tersenyum geli. Senyumnya manis sekali. Tapi Nick menduga gadis itu jarang tersenyum, lebih suka mengerutkan kening. Nick melihat bekas tanda kerutan itu di kening Anya.

“Kau tahu tidak?” Nick meneruskan. “Senyummu manis sekali.”

Anya berhenti tersenyum. Melihat keluar jendela lagi. Seolah-olah diluar ada sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet.

“Kau marah?”

Anya mendesah. Meneguk Victoria Bitter-nya yang tinggal setengah. “Dulu ia juga mengatakan hal itu.”

“Ia?”

“Siraj. Mantan pacarku. Kami baru saja putus.”

“I’m sorry.”

“It’s ok. Aku sedang berusaha melupakannya. Tapi tidak mudah.” Ia mendesah lagi. Melirik botol yang ia pegang. Tinggal seperempatnya. Gadis itu meneguk lagi. Habis.

“Kau ingin melupakannya dengan dua botol bir?”

“Empat. Aku sudah meminum dua tadi. Ini botol yang keempat. Dan botol yang kaupegang itu botolku yang ketiga.”

“You alright?”

“I’m fine.” Ia melirik lagi keluar jendela kemudian menarik kabel diatasnya. “Time to get off.” Ia tersenyum lagi. Seolah-olah menyayangkan pertemuan singkat mereka. “See ya, Nick.” Dan terhuyung-huyung gadis itu turun begitu tram berhenti.

Nick tercenung.
*****
Kemudian, entah bagaimana, sejak itu Nick jadi sering bertemu Anya. Di tram yang sama. Kadang-kadang gadis itu menggenggam Victoria Bitter di tangan yang satu, bacon burger di tangan yang lain dan Nick sudah berani mengolok-oloknya. Mana cocok bacon burger dengan bir? Dan dari pertemuan-pertemuan singkatnya dengan Anya, ia tahu bahwa gadis itu selalu melarikan diri dari masalah yang ada dengan minum bir dan makan yang banyak. Nick jadi tahu kemana larinya sisa-sisa makanan itu di tubuh Anya….

Suatu hari Anya menunjukkan foto waktu ia baru saja diwisuda. Disitu berdiri lelaki berkulit gelap, berhidung mancung, bermata lebar. “That’s Siraj,” tunjuknya.

Nick menganggukkan kepalanya. Sudah tahu. “Dan gadis cantik disebelahnya?”

Anya tertawa keras. “Itu aku, bodoh.”

Nick mendekatkan foto itu berusaha mengamati gadis yang mengenakan toga dengan teliti. “Itu kau?”

Anya mengangguk.

Nick menatap foto yang ada ditangannya lagi. Berusaha mencari sebentuk kemiripan dengan Anya yang dihadapannya sekarang. Begitu berbeda. Tapi senyum gadis yang di lembar foto itu memang milik Anya. Senyum manis khas Anya. Tapi gadis bertoga di lembar foto itu bukan gadis tambun yang duduk disebelahnya sekarang. Bukan gadis dengan lengan dan paha besar yang ia kenal beberapa hari yang lalu. Bukan. Gadis di foto itu begitu langsing. Dan lebih bahagia.
Anya mendesah lagi. “Sejak remaja aku selalu menjaga bentuk tubuhku. Karena aku beranggapan dengan tubuhku yang seperti itu aku akan lebih disukai teman-temanku. Baik teman-teman wanita maupun teman-teman pria. Kemudian waktu kuliah aku berkenalan dengan Siraj. Mahasiswa dari India. Kami satu jurusan. Kami sering satu kelompok diskusi. Aku menyukainya, karena ia, satu-satunya pria yang selalu mengatakan bahwa perempuan montok seperti aku sekarang inilah yang menarik. Terpesona dengan filosofinya, aku berpacaran dengannya. Dan aku, tak lagi menjaga bentuk tubuhku. Ia toh tak keberatan. Sampai saat ini. Bahkan ketika ia memutuskan aku pun.”

“Kau tahu mengapa ia…?”

“Memutuskan aku? Karena ia bertemu dengan perempuan sebangsanya. Lebih langsing. Lebih cantik. Lebih sepadan dengannya. Ia tak lagi tertarik dengan perempuan montok seperti aku.”

“Kau cantik. (Pipi Anya memerah) Hanya tidak bahagia. Karena kau mengukur kecantikan dari apa yang disodorkan orang-orang yang kauanggap sebagai kawan. Kau menjaga bentuk tubuhmu. Itu bagus. Tapi cobalah untuk alasan yang berbeda. Untuk kesehatan tubuhmu dan kebahagiaanmu sendiri. Karena bagaimana kau merawat tubuhmu terpancar bagaimana kau menghargai hidupmu.”

Anya terdiam. Melirik keluar jendela lagi. Seolah-olah, setelah percakapan mereka itu, ia menemukan sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet. Lalu ia menarik kabel diatas kepalanya. “Time to get off.” Gadis itu kembali terdiam. Hening sesaat. Dan sebelum tram itu berhenti di perhentian berikut, Anya menatap Nick dalam-dalam. “Apa pendapatmu tentang diriku?”

Nick tersenyum lebar. “Your smile is wonderful, Anya. Don’t worry be happy.”

Anya tersenyum. Manis sekali. Senyum termanis yang gadis itu pernah berikan buat Nick.
*****
Setelah percakapan itu, Nick tidak bertemu gadis itu lagi selama beberapa minggu. Ia tidak tahu kemana perginya Anya. Tapi tidak berusaha mencari. Ia masih tetap pulang balik dengan tram yang sama. Sering bertemu dengan orang-orang yang sama. Pak tua Eddie pun lama-lama menyadari kehadirannya. Sudah bisa bercakap-cakap panjang lebar. Sudah bisa bercerita bahwa pak tua itu sedang menunggu kelahiran cucunya yang ketiga dalam bulan ini. Sudah bisa bercanda dengan Nick.

Tapi Anya seperti menghilang begitu saja. Apa gadis itu menghindari Nick?

Dan sore itu ia mendapat kejutan. Seorang gadis cantik berambut merah menyapanya ketika ia sedang memesan kopi untuk diminum panas-panas di tram sepulangnya bekerja di Victoria Market.

“Hi, Nick.”

Nick terkejap. Senyum itu. “Anya?”

Gadis berambut merah itu terbahak. “That’s me!”

“Anya! Apa.. apa kabar?” Ia menyingkir setelah menerima kopinya dan mempersilahkan orang lain di belakang antriannya untuk maju.

“Very well, thanks. So? Bagaimana pendapatmu?”

Nick memandang Anya yang memutar tubuhnya bak seorang peragawati di hadapannya.

"You’re so beautiful!”

Anya tertawa renyah. Menarik Nick keluar dari Gloria Jean’s, tempat Nick membeli kopi.

“Kau mau menemaniku makan malam?”

Nick menyeruput kopinya. “Is it ok for your diet?”

Anya tertawa lagi. “Sure. Tidak apa-apa. Kata instrukturku sesekali boleh saja. Ayolah.”

Gadis itu menyeret Nick ke restoran terdekat.

Nick tahu. Malam itu ia bertemu Anya yang berbeda.
*****
Baru saja Nick dihubungi tuannya. Beliau berharap Nick melakukan tugasnya dengan baik. Nick melakukan tugasnya dengan baik. Ia berusaha sebisa-bisanya. Tapi, Anya, gadis itu memendam harapan berlebih pada dirinya.

Dan Nick kesulitan memberitahu Anya, bahwa ia hanyalah seorang malaikat yang tidak boleh punya hubungan intim dengan manusia.

Tugasnya hanya satu. Membuat dunia ini jadi lebih baik. Itu saja.


Melbourne, 10 Mei 2006
Dedicated to all girls in the world
“You are beautiful no matter what they say, words can’t bring you down….” – Beautiful by C. Aguilera

baca lanjutannya...

Thursday, April 2, 2009

badai

Aku sedang mengetikkan kesimpulan terakhirku siang itu sambil tersenyum puas ketika ponselku berdering, karena itu aku tak langsung mengangkat panggilan itu. Aku yakin ini akan menjadi revisiku yang terakhir dan terbaik yang akan kuajukan pada dosenku sebagai tugas akhirku semester ini. Kulirik layar ponselku, dan nama 'papa' tertera di layar. Dengan riang aku menjawab deringnya dan menyapa papaku hangat. Hampir dua minggu ia tidak meneleponku, dan sebagai anak rantau tentu saja merupakan kebahagiaan tersendiri jika papa atau mama meneleponku.

"Halo, Pa! Kangen sama Ra?" sapaku riang.

Hening disana. Dan tiba-tiba ada secercah perasaan tak enak mendera tubuhku. Adrenalinku naik begitu cepat seolah-olah saat itu aku sedang menunggu keputusan eksekusi di pengadilan.


"Papa?" Sekali lagi aku memanggil dengan hati-hati.

Terdengar helaan nafas panjang disana, kemudian lirih kudengar, "Mama masuk rumah sakit, Ra."

Jantungku seakan berhenti berdetak. "Mama kenapa, Pa?"

Tak segera terdengar jawaban, dan waktu beberapa detik itu bagaikan beberapa abad bagiku. "Mama terkena stroke. Tiga hari yang lalu. Papa tidak langsung mengatakannya padamu, karena Papa tahu kamu sedang tes akhir."

"Tapi Pa, kenapa, bagaimana?" Aku yang biasa berceloteh jika berbincang-bincang dengan Papaku menjadi kehilangan kata-kata. Bahkan saat itu kata-kata yang biasa terucap dari mulutku menguap ditelan angin.

"Papa tidak bisa menceritakannya sekarang. Terlalu panjang untuk diceritakan di telepon."

"Tapi, Pa, bagaimana keadaan Mama sekarang?" tanyaku panik ketika Papa hendak memutuskan hubungan.

Papa menghembuskan nafas. Dan meskipun lewat telepon, aku dapat merasakan kekhawatiran Papa, kesedihan Papa. "Sudah dioperasi. Dan keadaannya akan membaik."

Dari nada suaranya aku tahu Papa cuma tak ingin membuatku khawatir. Ia tak hanya ingin menghiburku tapi juga menghibur dirinya sendiri. Papa tahu kalau aku orang yang selalu dipenuhi kekhawatiran ketika ada di tengah-tengah keadaan yang tidak beres dan tentu ia tak mau mengganggu kuliahku.

"Mama dirawat di rumah sakit mana?" tanyaku sambil berharap-harap cemas kalau-kalau Mama dirawat di rumah sakit di kota kecilku yang berarti keadaannya memang tidak terlalu parah.

"Di Semarang."

Hampir pingsan aku mendengarnya. Harapanku punah. Itu berarti keadaan Mama lebih parah dari apa yang dikatakan Papa.

"Ra akan ke Semarang nanti malam atau besok, Pa. Ra mau lihat keadaan Mama."

"Ra, Papa telepon kamu bukan menyuruhmu kesini. Papa cuma ingin kau tahu. Selesaikan dulu tugas-tugas kuliahmu. Disini sudah ada Papa, Oma dan Tante Dina. Kau tidak perlu khawatir, Mama sudah ditangani dengan baik."

"Tapi, Pa..." Bagaimana mungkin aku bisa tenang mengerjakan tugas-tugas kuliahku sementara kepalaku dipenuhi tanda tanya dan perasaan ingin tahu bagaimana keadaan Mamaku sebenarnya? Seberapa parahkah? Sudah mulai membaikkah? Atau yang lebih parah, tak ada harapan lagi?

Papa akan kabari lagi keadaan Mama selanjutnya, dan Papa akan beritahu kamu kapan kamu harus kesini. Mengerti, Ra? Selesaikan tugas-tugas kuliahmu dulu, Papa nggak mau itu semua terbengkalai. Kalau itu terjadi, kekhawatiran Papa bakal bertambah, kau tahu?
"Ya, Pa," sahutku lemah mendengar nada tegas Papa. "Ra tunggu kabar Papa selanjutnya."

Hubungan telepon kami terputus. Dan aku merasa saat ini aku cuma seonggok raga tanpa jiwa, karena jiwaku sudah meninggalkanku - pergi sendirian bersamaan dengan terputusnya hubungan teleponku dengan papa. Tak ada lagi yang kuingat. Otakku tiba-tiba kosong dan tubuhku seperti tak bertulang. Bahkan aku tak ingat dimana aku berada sekarang. Somebody help me, please!

*****
Malam itu mungkin malam yang terburuk dalam hidupku. Nafasku sudah sesak dan air mata terus mengalir turun. Sayup-sayup kudengar tawa dan canda teman-teman kost-ku. Inginnya aku bergabung dengan mereka dan tertawa bersama-sama mereka. Tapi, bahkan kakiku pun menolak untuk diperintah. Dan disinilah aku, diam diatas tempat tidurku ditemani isak tangis yang tak kunjung berhenti. Aku berpikir, seandainya aku dikaruniai sepasang sayap seperti burung, tentu sekarang aku sudah terbang dan ada di samping Mama untuk memberikan sedikit kekuatanku untuknya Tapi toh, itu hanya 'seandainya'.

Baru kusadari, betapa sayang aku pada Mamaku. Selama ini aku nyaris tak pernah berpikir demikian. Dan ketika aku menyadarinya, aku bahkan tak bisa mengungkapkannya pada Mama. Kalau memungkinkan, ingin kubuat seribu burung untuk mengajukan satu permohonan pada Tuhan yang di atas untuk menyembuhkan Mama.

Tawa canda itu kembali terdengar - mengusik telingaku. Membuat hatiku merintih dan berpikir tak ada yang peduli padaku. Dan aku berkata pada diriku, tidak! aku tidak ingin bergabung dengan mereka. Aku tak ingin menjadi munafik - tertawa padahal hatiku menangis dan gembira padahal jiwaku meratap sedih. Kutatap langit malam lewat jendela kamarku. Kadang aku ingin tegar seperti rajawali dan kuat bagai elang, tapi kenyatannya aku rapuh seperti seekor domba.

Ponselku tiba-tiba berdering. Segera kuhapus air mataku dan kuhentikan isak tangisku untuk kemudian bangkit menyambarnya sambil berharap itu kabar dari Papa. Tapi itu bukan Papa. Bukan Oma. Juga bukan Tante Dina. Cuma Josh.

"Ya?" jawabku malas.

"Ra? Kau dimana?"

"Di kamar, Josh. Ada apa?"

"Kau baik-baik saja? Suaramu tidak seperti biasanya."

Apa yang harus kujawab? Aku baik-baik saja? Pembohong! Lalu? Apa yang harus kujawab? "Yah.... Not too good...." Nah, aku tidak berbohong kan?

"Ada apa?" tanyanya lembut.

"Seharusnya aku yang bertanya, Josh."

"Aku hanya meneleponmu untuk memastikan kau baik-baik saja. Kedengarannya menggelikan, tapi aku merasa kau sedang memerlukan seseorang."

Oh, Josh. Bagaimana kau tahu itu? "Terima kasih, Josh. Hanya Mamaku."

"Mamamu? Ada apa dengan beliau? Kau bertengkar lagi dengan Mamamu?"

Jangan ingatkan aku lagi tentang pertengkaran hebatku dengan Mama waktu itu, Josh! Aku tidak ingin mengingatnya saat ini, dan betapa aku menyesalinya! "Tidak, tidak. Mama masuk rumah sakit, Josh. Stroke."

Hening sejenak. "Astaga, Ra. Itu yang kaukatakan 'hanya'? Bagaimana keadaannya? Baik-baik saja? Di rumah sakit mana?"

Mendengar pertanyaan-pertanyaan Josh, isak tangis itu mulai lagi. "Aku tidak tahu, Josh! Aku tidak tahu! Papa bilang Mama baik-baik saja, tapi aku tahu itu cuma untuk menghiburku! Seandainya aku tahu, mungkin itu bisa membuat keadaanku jadi lebih baik!"

Josh terdiam sejenak. "Ra, aku disini jika kau memerlukan aku."

Tangisku kembali meledak. "Oh, Josh, aku sendirian disini! Tak ada seorangpun yang peduli denganku! Bahkan Tuhan pun ikut diam!"

"Ra! Itu tidak benar! Tuhan ada disitu bersamamu. Aku akan kesana sebentar lagi. Tunggu aku."

"Josh! Aku tidak mau merepotkanmu. Dan lagi, ini sudah larut malam. Sudahlah, aku akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja." Kutekankan kalimat terakhir itu untukku sendiri.

"Ra... ."

"Selamat malam, Josh." Dan kututup ponselku.

Maafkan aku, Josh. Aku tahu kau peduli padaku, tapi aku tak menemukan alasan mengapa aku harus membuatmu khawatir untuk sesuatu yang rewel yang disebut 'aku'. Kuhembuskan nafasku dalam-dalam. Sering aku berkata pada diriku sendiri untuk tidak selalu manja dan menggantungkan diriku pada orang lain. Tapi, kalau Adam saja memerlukan Hawa, mengapa aku tidak boleh memerlukan orang lain disampingku?
*****
Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Disinilah aku sekarang. Di samping tempat tidur Mama yang sedang terbaring dengan alat-alat yang menancap di kepalanya dan juga tangannya. Kulihat wajahnya tampak pucat dan tubuhnya bertambah kurus. Pun demikian ia masih terlihat cantik. Just like my mom.

"Selang untuk apa itu, Pa?" tanyaku perlahan.

"Ada pembuluh darah mama yang pecah dan darahnya tersumbat di otak, dan darah itu harus disedot."

"Sampai kapan selang itu harus ada disana? Mama terlihat mengerikan dengan selang itu."

Papa menatapku tajam. "Ra. Selang itu membantu menyembuhkan Mama. Sabarlah."

Aku melengos dan melihat pasien yang sekamar dengan Mama. Seorang anak perempuan yang sebaya denganku. Dia bahkan lebih kurus dari aku, padahal teman-teman sering mengolok-olokku kalau aku orang terkurus yang mereka tahu. Bahkan Josh pun mengatakan hal yang serupa.

Josh.

Aku belum bercerita pada Mama tentang Josh. Tepatnya, belum sempat. Aku belum sempat menceritakan kedekatan kami, perasaan kami, terutama perasaanku. Aku dan Josh memang belum mengibarkan bendera cinta. Tapi aku tahu diantara kami ada cinta. Dan bendera cinta itu siap dikibarkan kapanpun kalau saja aku tidak menahan tangannya untuk mengibarkan. Aku belum siap. Entah kenapa.

Kutatap wajah Mama, dan kugenggam tangannya yang dingin. Hatiku merintih perlahan. Mama yang cerewet. Mama yang selalu ingin segala sesuatunya sempurna. Mama yang terlalu menyayangiku. Dan Mama yang ada dihadapanku ini bukan Mama yang kukenal. Mama yang dihadapanku ini begitu rapuh. Pendiam. Dingin. Aku takut mengakuinya, tapi aku hampir-hampir tidak mengenal Mamaku. Hanya wajahnya saja yang masih memancarkan kecantikan Mama yang tersamar.

"Selamat sore, Pak."

Aku terlonjak kaget dan cepat-cepat menghapus air mata yang tak sengaja meleleh di pipi karena tak mengira ada tamu pada jam segitu. Kulirik jam dinding kamar rumah sakit. Pukul empat tiga puluh lewat sedikit. Pantas orang-orang mulai berkunjung.

"Apa kabar, Pak Andre?" sahut Papa. Papa melirikku sambil memberi isyarat untuk menyapa Pak Andre yang baru datang.

Aku cuma tersenyum sambil mengulurkan tanganku.

"Ini anak Bapak yang pertama?" tanyanya sambil menunjukku.

Papa mengangguk sambil tersenyum. "Dia kuliah di Surabaya, jadi tidak pernah kelihatan. Adiknya sedang dirumah."

Pak Andre mengangguk-angguk perlahan. Kemudian perbincangan klise antara pengunjung rumah sakit dan penunggu pasien mulai. Bagaimana asal mulanya, kenapa bisa jadi seperti ini, bla bla bla. Aku duduk kembali dan menatap wajah Mama kembali sambil terus menggenggam tangannya yang dingin, sama dinginnya dengan besi-besi yang ada disamping tempat tidur Mama. Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa sentuhan kasih sayang pada orang sakit akan mempercepat kesembuhan, dan itu yang sedang kulakukan sekarang.

"Ra," panggil Papa. "Pak Andre mengajak berdoa."

Aku bangkit dan melangkah keluar.

"Ra? Tidak ikut berdoa?" tanya Papa menghentikan langkahku sambil mengerutkan kening.

Aku menggeleng dan melangkah pergi keluar ruangan. Di lorong rumah sakit yang mulai ramai oleh pengunjung, berdirilah aku - menghirup udara disitu. Terdengar gelak tawa dari kamar sebelah, diiringi jeritan pilu dari kamar ujung lorong. Disinilah tempat banyak nyawa manusia dijemput oleh malaikat maut. Tempat yang penuh dengan tangisan dan penderitaan, meskipun sesekali terdengar ada tawa riang. Bahkan suara tawa pun bisa terdengar mengerikan memantul di dinding-dinding rumah sakit ini.

Ponselku bergetar. Kulirik nama yang tertera di layarnya. Josh. Agak lama baru kuangkat telepon itu.

"Ya, Josh."

"Ra, apa kabar?"

"Kabarku atau Mamaku?"

"Bagaimana kalau keduanya?"

"Aku baik. Dan Mamaku... aku tidak tahu."

"Tidak tahu? Apa kata Papamu dan dokter yang memeriksanya?"

"Aku tidak begitu percaya pada mereka. Yang dokter lakukan cuma sebuah hipotesis yang masih perlu pemeriksaan lebih lanjut, dan yang Papa lakukan cuma sesuatu untuk menghibur diri."

"Ra!"

"Baiklah, Josh. Kata dokter, keadaan Mama mulai membaik meskipun masih ada selang yang menancap di kepalanya."

"Selang?"

"Untuk menyedot darah Mama yang tersumbat di saluran otak. Itu kata Papa. Aku tidak tahu yang sebenarnya terjadi di dalam kepala Mama."

"Ra...!"

"Josh, aku tak tahan melihat keadaan Mama. Wanita yang sedang terbaring di dalam seperti bukan Mamaku. Ia cuma seorang wanita dengan wajah Mama."

"Kau tidak menemani Papamu?"

"Papa sedang berdoa dengan seorang pendeta."

"Dan kau tidak ikut berdoa?!"

"Haruskah?" jawabku dingin.

"Ra, cuma itu yang bisa kamu lakukan kan? Memohon pada Tuhan atas kesembuhan mamamu!"

"Aku sudah melakukan itu berhari-hari, Josh. Dan tak ada sesuatu pun terjadi. Hari ini sudah minggu kedua Mama di rumah sakit, dan aku tidak melihat tanda-tanda Tuhan menjawab doaku!"

"Ra, kau seperti seseorang yang tak pernah kukenal. Kemana Ra yang tegar? Kemana Ra yang selalu mengatakan padaku untuk menyerahkan segala kekhawatiran pada Tuhan lewat doa?"

Aku cuma diam. Memang tak ada yang ingin kukatakan untuk menanggapinya. Lagipula apa yang harus kutanggapi? Tidak ada.

"Ra, Mamamu sudah cukup membuatku kalut sekarang ini, jangan menambah kekacauan dengan sikapmu!"

"Aku hanya sedang tidak ingin berdoa, Josh, tahukah kau? Apa yang kau mengerti? Kau tidak merasakannya sendiri. Mamamu masih begitu sehat dan tak ada yang perlu kau khawatirkan. Kau hanya tidak mengerti!"

"Kalau begitu buat aku mengerti mengapa kau bersikap seperti itu."

"Josh, dengar. Aku lelah. Sudah beberapa hari terakhir ini aku tidak bisa tidur. Aku tidak mau kau meneleponku hanya untuk marah-marah padaku."

"Tapi, Ra, keadaanmu sama mengkhawatirkannya dengan keadaan Mamamu."


"Oh, Josh, kau jadi seperti dokter disini dengan segala hipotesanya. Hebat. Kau mungkin bahkan lebih hebat dari mereka karena kau melakukan hipotesa itu hanya melalui telepon!"

Josh mendesah. "Apa yang harus kulakukan, Ra?"

"Mudah. Tutup saja telepon ini. Aku sedang tidak ingin mendengar siapa-siapa."

"Ra... ."

Kumatikan ponselku tanpa mendengarkan apa katanya lagi dan menon-aktifkannya. Josh yang tidak mengerti. Josh yang selalu khawatir. Maaf, Josh. Jangankan kau, aku pun tidak mengerti mengapa aku jadi seperti ini.

"Ra."

Aku menoleh ketika Papa memanggilku.

"Pak Andre mau pulang."

Aku mengangguk dan mengulurkan tanganku untuk yang kedua kalinya padanya.

"Ra, malam ini kau tidak usah jaga Mama."

Aku menaikkan alisku. "Kenapa, Pa?"

"Nanti ada Tante Dina dan Fani yang menjaga Mama. Lagipula, Papa pikir kau butuh istirahat. Kau kurang tidur, dan wajahmu terlihat pucat."

"Papa?"

"Papa akan istirahat di hotel. Kau pulang bersama Om Yo dan lusa balik sini dengan Ade."

"Baiklah, Pa."

Paling tidak, untuk sementara aku bisa menghilangkan jeritan-jeritan pilu di lorong rumah sakit ini dari pikiranku.
*****
Rumah yang sepi. Tak ada canda Papa. Tak ada kecerewetan Mama. Sungguh berbeda dengan rumah yang kutinggalkan terakhir kali. Cuma ada Ade dan Oma. Kuletakkan kepalaku diatas bantal. Kucium bau Mama di tempat tidur ini. Dan itu malah membuatku berat memejamkan mata, padahal sudah hampir pukul satu dini hari.

Sudah kumatikan lampu dari tadi. Tapi mata ini tetap saja tidak dapat diajak kompromi. Aku lelah. Jiwa dan raga. Tapi, tubuhku ini tidak mau menurut padaku. Iseng-iseng kunyalakan ponselku yang sudah kumatikan dari tadi. Satu pesan masuk. Dari Josh.

"Ra, bukan cuma kau yang menderita. Bukan cuma kau yang bisa menangis. Kau tahu? Disini pun aku menangis. Dan Tuhan pun ikut menangis."

Aku tidak bisa berdoa seperti biasanya. Aku tak tahu. Aku hanya tak ingin. Bolehkah? Malam ini aku membaca tentang penggerutu. Seseorang yang tak pernah merasakan kebahagiaan dalam hatinya. Seseorang yang selalu mengeluh tentang segala sesuatu dan tidak mengenal arti kata ‘terima kasih’ pada Yang Di Atas yang sudah memberikan segala sesuatu. Seseorang yang berpikir ia adalah orang yang paling menderita di dunia. Ukh. Bacaan itu sudah menohokku. Perih di hati. Tapi, kukeraskan hati. Bukankah aku melakukan hal yang tepat? Aku tidak munafik seperti orang-orang lain, yang ditengah-tengah kesedihannya bahkan mengatakan kata 'bahagia'. Tersenyum ketika hatinya meratap sedih. Aku tidak seperti itu, Tuhan! Tolong. Aku tidak ingin menjadi orang yang munafik!

Jujur saja. Saat ini aku memang tidak bisa mengucapkan syukur atas apa yang terjadi pada diriku. Mengucapkan syukur? Atas penyakit Mama? Tidak salah? Tuhan, aku tahu Kau ada, tapi Kau diam. Kau biarkan aku menangis dalam kesedihan ini. Aku bahkan tak mengerti mengapa Kau biarkan ini semua terjadi. Mengapa?!

Ukh. Air mataku mengalir kembali. Dan aku benci tak berhasil menghentikannya. Kali ini kuikuti kata hatiku setelah berhari-hari aku mencoba menghindarinya. Aku berlutut dan berdoa pada-Nya. Tepatnya, memohon. Dan cuma ini yang bisa kukatakan.

"Tuhan, maafkan Ra. Ra sedang tidak bisa mengucapkan syukur. Boleh? Tapi, Ra mau berdoa buat Mama, yang Kau ijinkan sakit saat ini. Ra mohon kesembuhan Mama. Itu saja permintaan Ra malam ini. Amin."

Sudah cukup. Sudah kuungkapkan perasaanku pada Tuhan. Dan aku yakin, jauh sebelum aku mengatakannya, Ia sudah tahu.
*****
Ade membuka pintu kamarku sambil tersenyum-senyum.

"Ada apa senyum-senyum sendiri?"

"Ra, kau tidak cerita kalau sudah punya pacar?"

Aku mengerutkan kening. "Pacar?"

"Iya. P-A-C-A-R. Pacar."

"Kenapa, De?"

"Ada seseorang yang cari kamu diluar. Cowok. Siapa lagi kalau bukan pacarmu? Aku nggak pernah lihat dia disini. Pasti kan orang Surabaya?"

Aku tersentak. Tidak mungkin! Aku segera berlari keluar, dan disanalah ia. Di depan pintu rumahku - di kotaku! Aku tidak percaya!

"Ra?"

"Josh! Apa yang kau lakukan disini?"

Josh tersenyum simpul memahami kekagetanku. "Mengunjungi seseorang yang sudah membuatku tidak dapat tidur nyenyak selama berhari-hari dan mengisi doaku tiap malam."

"Josh...."

"Tidak mempersilakanku masuk?"

Aku membuka pintu lebih lebar dan menyilahkan dia masuk ke ruang tengah.

"Nah," kataku ketika kami sudah duduk di ruang tengah. "katakan padaku mengapa kau tiba-tiba ada disini. Terlalu mengejutkan bagiku."

Ia menatapku dalam-dalam. "Kau terlihat pucat, Ra."

Aku terdiam mendengar perkataannya. "Itu tidak menjawab pertanyaanku."

"Ada lingkaran hitam di bawah matamu. Dan kau terlihat lebih kurus dari biasanya."

"Josh!"

"Bukankah aku sudah mengatakan tujuanku sejak awal, Ra? Aku mengkhawatirkanmu, dan aku tidak bisa duduk diam sementara kau berjuang sendirian disini."

Aku melengos. "Aku sudah bilang, kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Mestinya kau lebih khawatir soal Mamaku daripada aku."

Ia menatapku tajam. Belum pernah kulihat dia seperti itu. "Kupikir kau lebih sakit dari Mamamu."

Kutatap dia dengan pandangan marah. "Kau bilang aku sakit? Sakit?! Apa maksudmu?"

"Dengar, Ra, aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Mamamu, tapi kau bukannya menyerahkan kekhawatiran itu pada Tuhan, kau malah marah-marah pada-Nya!"

"Lalu? Apa pedulimu? Itu urusanku dengan Tuhan. Tidak bolehkah kuungkapkan kekecewaanku pada-Nya?"

"This is not the way, Ra."

"So? Show me the way."

"Lebih tepat kukatakan kau tidak berhak marah-marah pada-Nya."

Hampir aku berteriak kencang mendengar perkataannya itu. "Josh! Saat ini aku hanya tidak bisa mengucapkan syukur pada-Nya. Kau puas? Aku memang kecewa pada-Nya. Tidak bolehkah aku berbuat demikian? Aku hanya tak mengerti mengapa Ia biarkan ini semua terjadi. Mengapa Ia biarkan aku menangis dan berdoa bermalam-malam, tapi tetap diam dan tidak berbuat apa-apa terhadap Mama? Apa kau ingin aku seperti orang-orang munafik lainnya yang tersenyum meskipun menderita dan berkata 'aku bersyukur' padahal hatinya sedang meratap? Oh, Josh, aku tidak seperti mereka!"

Plak!

Kupegang pipiku yang baru saja ditampar oleh Josh. Sorot mata Josh terlihat berapi-api setelah mendengar semua perkataanku. Dan aku yakin sorot mataku pun sama membaranya dengannya.

"Apa maksudmu dengan ini, Josh?!"

Josh menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aku kecewa padamu, Ra. Sungguh. Dan sekarang dengarkan aku. Aku tahu kau sedih dan kesedihanmu membuat kau menderita. Aku mengerti kau tidak bisa mengucap syukur atas apa yang terjadi Mamamu. Tapi, Ra, kau bisa mengucap syukur atas hal-hal lain."

"Seperti?"

"Kau harus bersyukur kalau sampai hari ini Mamamu masih mendapatkan perawatan terbaik dari dokter. Banyak orang-orang yang punya penyakit lebih parah dari Mamamu tidak bisa mendapatkan perawatan yang seharusnya mereka dapatkan. Kau juga harus bersyukur kalau sampai hari ini Papamu masih setia merawat Mamamu dan meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu. Banyak suami-suami meninggalkan istrinya yang sakit dengan suster yang digaji. Itu menunjukkan betapa sayangnya Papamu pada Mamamu dengan keadaannya yang seperti itu. Kau juga harus bersyukur bahwa saudara-saudaramu ada disekitarmu untuk menolongmu kuat menghadapi ini semua. Nah?"

Aku cuma terdiam. Bahasaku menguap. Aku kehilangan kata-kata. Tapi justru ketika aku kehilangan kata-kata itulah, jiwaku kembali. Ada secercah rasa hangat yang menyinari hatiku yang sempat membeku. Dan tangan Tuhan seperti menjamahku. Begitu hangat dan nyaman. Lalu, aku merasa, besok pagi matahari akan bersinar lebih cerah dari biasanya dalam hatiku setelah mendung itu berangsur-angsur pergi. Dan kudengar suara Tuhan berkata padaku, "AKU disini, Ra, meneteskan air mata bersamamu."
*****
Kenyataannya aku berhasil bertahan sampai minggu keempat. Hari ini wajah Mama terlihat lebih segar meskipun ia sulit bergerak dan berbicara. Selang mengerikan yang menancap di kepalanya sudah dilepas dan itu membuat ia tampak lebih Mama. Yang jelas Mama sudah dapat bereaksi terhadap sekelilingnya. Ia bahkan sudah bisa menggodaku tentang Josh. Ade yang mengatakannya. Tapi aku menikmati godaannya. Meskipun itu diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas.

Aku malu mengakuinya, tapi harus kuakui aku belajar banyak dari ini semua. Kusadari betapa bodohnya aku selama ini. Kupikir aku orang yang paling menderita di dunia. Kupikir aku orang yang sudah meneteskan air mata yang dapat membuat sungai meluap selama ini. Dan kupikir aku tidak munafik dengan segala hal yang sudah kulakukan. Tapi aku cuma satu dari para penggerutu itu. Yang tidak tahu terima kasih atas semua yang sudah diberikan.

Saat kutoleh kebelakang. Aku menyadari banyak yang sudah Tuhan berikan untukku dan kulupakan. Dan betapa konyolnya tiap suku kata yang aku ucapkan waktu itu. Kini, air mataku kering sudah. Yang aku miliki sekarang cuma harapan dan doa. Aku percaya dengan doa segala sesuatu yang menakjubkan dapat terjadi. Dan dengan harapanlah, kekuatan itu muncul karena manusia bisa hidup dengan harapan-harapan yang dimilikinya.

Satu lagi. Aku lupa mengatakan ini pada Josh. Ia sudah mengajarkan aku arti cinta dan kepercayaan. Bahwa ketika aku percaya, sesuatu yang tak mungkin bisa menjadi mungkin. Dan cinta menjadi kekuatan untuk itu - untuk tetap berdiri meskipun badai hebat melanda. Lebih dari itu, aku yakin akan hal ini. Josh cuma salah satu dari sekian banyak anugerah Tuhan yang dikirim lewat cinta antara jiwa seorang laki-laki dan hati seorang perempuan.

Dan kemudian kugoreskan seuntai pengalaman itu di langit-langit hatiku. Terkadang, hanya dengan penderitaanlah manusia belajar bergantung kepada Tuhan dan melalui kepahitanlah, manusia diajarkan untuk menjadi dewasa. Di lain waktu, Tuhan memang membiarkan hati kita terkoyak dan terluka supaya kita mengundang-Nya datang untuk mengobati luka itu dan mengeringkannya dengan cinta-Nya.

Kali ini, biarkan aku menangis dengan rasa syukur.

ps: Untuk seseorang yang sudah dikirim Tuhan untukku justru di saat-saat aku goyah - buat cinta dan kepedulian yang sudah aku terima. Kepadanya kupersembahkan tulisan ini.

June 25, 2003



baca lanjutannya...