CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Saturday, April 4, 2009

jalan cinta

Aku menamainya: Jalan Cinta.

Bukan aku yang memberinya nama demikian. Tapi orang-orang itulah yang mengatakannya padaku. Kata mereka, Jalan Cinta sudah ada sejak mereka masih kecil. Sejak jiwaku dititipkan pada janin ibuku. Saat itu, penasaran aku seperti apa yang namanya Jalan Cinta. Kubayangkan Jalannya bersih. Tiada debu sama sekali. Di kanan kiri ada pepohonan rindang, karenanya tiap tarikan nafas jadi penuh rasa syukur. Tapi pepohonan saja tak cukup. Pasti ada bunga-bunga, yang berwarna-warni, yang beribu-ribu pula jumlahnya. Siang terasa nyaman, malam terasa damai. Persis seperti Surga. Tempat sebelum jiwaku ngendon dalam diri seorang manusia yang bernama perempuan. Ibuku.

Tetapi kenyataannya, Jalan Cinta itu rupanya seperti jalan biasa. Bersih juga tidak. Anak-anak debu dapat bermain sambil berlarian kesana kemari. Tiada pohon rindang yang bisa kusapa, hanya satu dua pepohonan menunggu datangnya musim semi. Dan lupakan tentang bunga. Aku tak tahu mengapa jalan itu dinamai Jalan Cinta.

Aku tidak pernah berhasil memerintahkan kakiku untuk melangkah sampai ke ujung jalan. Hatiku bilang ujung jalan adalah tempat terpekat dari jalan ini. Jika demikian, pikirku, mengapa jalan ini dinamai Jalan Cinta? Suatu hari kutemukan jawabnya. Waktu itu, sambil menangis aku berlari menuju Jalan Cinta. Sesampainya aku di jalan itu, kurebahkan tubuh penatku ini dan aku sesenggukan sepuasku. Hanya pohon-pohon kurus yang jadi saksi. Sampai tiba-tiba seorang lelaki mendekatiku. Wajahnya tiada tampan, apalagi rupawan. Hanya matanya menawan hatiku, membuatnya bertekuk lutut sambil menyeret kaki-kaki ini melangkah setapak demi setapak menuju ujung jalan. Tempat terpekat itu.

Tempat itu memang pekat. Kucium sejarah yang berbau amis sekaligus segar. “Dulu,” kata lelaki itu, “aku mati disini.”

“Bohong,” kataku. “Kalau kau mati, mengapa kau ada disini?”

“Aku ini sejarah. Sejarah, biarpun dibunuh berkali-kali juga tetap bangkit.”

“Sejarah, kenapa kau mati disini?”

“Aku disiksa. Aku dianiaya. Aku dibunuh.” Ia diam sejenak. “Untuk cinta.”

“Cinta macam apa yang membuatmu dibunuh?”

“Cinta tak berbalas. Cinta sejati.”

“Kalau kau tahu cintamu tak berbalas mengapa mau mati untuknya?”

Ia mengedikkan bahunya. “Aku tak tahu. Mungkin karena selain sejarah, aku juga cinta itu sendiri.”

“Ah,” kataku, “kalau aku, biarpun tak mencintaimu, takkan membiarkanmu terbunuh.”

“Tapi kau salah satu dari mereka yang sudah membunuhku!”

Suara-suara berisik itu menyentuh gendang telingaku. Teriakan bercampur makian bercampur sorakan bercampur isakan begitu mendengung. Bertalu-talu. Dan aku melihat diriku ada disana. Ikut berteriak. Ikut memaki. Ikut bersorak. Ikut juga terisak.

“Itu bukan aku!!” Tapi teriakanku hanya memantul pada dinding-dinding udara karena lelaki itu telah pergi. Entah kemana.

*****
Selalu seperti ini. Tiap kali menangis, kakiku mengajakku ke Jalan Cinta. Seolah-olah Jalan Cinta bisa menghentikan tangisku. Terkadang kutemukan, aku tidak sendiri. Ada mereka yang juga menangis, sehingga kami bisa sesenggukan bersama sebelum berpisah kembali. Sampai bertemu aku dengan Damai. Wajahnya begitu dekat di hati, meskipun tiada tampan apalagi rupawan. Dan Damai membuatku damai.

Damai berbicara sama seperti lelaki itu. Ia pernah disiksa. Ia pernah dianiaya. Ia pernah dibunuh. Yang paling mengerikan, ia juga menuduhku salah satu dari mereka yang sudah membunuhnya. Kubilang padanya, aku tak pernah membunuh siapa-siapa. Ia cuma tertawa. Tawanya menggoda, seolah-olah aku baru saja berlelucon.

Damai tidak selalu ada tatkala aku menangis. Karena kadang-kadang, tangisku begitu keras sehingga tak kurasakan kehadirannya di dekatku. Meskipun aku butuh ia, aku lebih sering membiarkan sedihku menyumbat indera perasaku.
*****
Tangisku meledak lagi. Sedih bercampur kecewa datang bertamu sambil ongkang-ongkang kaki. Kulihat ia di Jalan Cinta. Berjalan tertatih-tatih, membawa batang kayu raksasa yang jauh lebih besar daripada tubuhnya. Apa ia hendak dibunuh lagi? Pikirku.

Kulihat ia. Damai. Cinta. Sejarah.

“Siapa kau?”

“Damai.” “Cinta.” “Sejarah.”

“Sedang apa?”

“Mereka membunuhku lagi. Kau membunuhku lagi.”

“Kau takbiarkan aku datang mengusir sedihmu,” kata Damai.

“Kau biarkan aku diartikan seenak jidat oleh mereka,” tuduh Cinta.

“Kau biarkan aku berlalu begitu saja,” ucap Sejarah.

“Apa yang harus kulakukan??” teriakku.

“Katakan pada mereka. Katakan tentang seseorang yang sudah mati untukmu. Tentang ia yang membawa damai. Tentang Cinta sejati, bukan cinta absurd dan kekanak-kanakkan seperti yang dijejalkan ke mulutmu setiap hari. Tentang Sejarah penyelamatan umat manusia di muka bumi ini. Katakan pada mereka.”
*****
Aku menamainya: Jalan Cinta. Meskipun rupanya seperti jalan biasa. Meskipun jalan itu bersih juga tidak. Meskipun anak-anak debu dengan bandelnya masih berlarian kesana kemari sambil berteriak-teriak. Meskipun masih saja hanya pohon-pohon kurus yang bisa kusapa. Meskipun tiada bunga tersenyum pada matahari. Karena aku tahu mengapa Jalan itu dinamai Jalan Cinta.

Karena disitulah kutemukan Cinta sejati. Cinta yang memberi damai. Dan takkan kubiarkan Jalan Cinta itu lengang dan sepi seperti menunggu mati. Kan kusebarkan Sejarah itu. Sejarah penyelamatan umat manusia di seluruh muka bumi ini.

- published in Majalah Berkat edisi Agustus-November -

14 February 2008
11:43 pm
“Sebelum Cinta yang sebenarnya lalu bersama sang waktu…”

baca lanjutannya...

nick

Nick. Cuma itu namanya. Ia bahkan tidak tahu nama keluarganya. Yang ia tahu, sejak kecil ia sudah tinggal bersama dengan seseorang yang biasa ia panggil ‘Tuan’. Kadang-kadang pemuda itu memanggilnya ‘ayah’, tapi lebih suka dengan panggilan ‘tuan’. Bukan. Tuannya bukan seseorang yang gila hormat. Tapi tuannya memang seseorang yang layak dihormati.

Menginjak remaja, ia belajar untuk bekerja pada tuannya. Tuannya itu melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Banyak yang bekerja dengannya. Dan semuanya menghormati sang tuan. Menyayangi beliau. Meskipun pekerjaan mereka kadang-kadang menumpuk dan sulit, tapi Nick melihat mereka tetap suka bekerja dengan tuannya. Nick juga. Banyak pengalaman yang didapat dengan bekerja bersama tuan.

Kali ini, tuan mengirim Nick ke sebuah kota di Australia setelah beberapa tahun ia bekerja di beberapa kota di Indonesia. Nama kota itu: Melbourne. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba tuannya mengirim dia kesana. Ia suka juga tinggal di Indonesia. Biarpun kadang-kadang tidak habis pikir dengan tingkah laku masyarakatnya yang rupanya lebih serius memikirkan sesuatu yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan macam keadilan dan kesejahteraan untuk negara lain atas nama persaudaraan, lebih bingung dengan penampilan fisik. Maksud Nick, mengapa mereka tidak mau lebih serius bagaimana memikirkan kesejahteraan di tubuh bangsa mereka sendiri ketimbang repot-repot mengurusi negara lain? Dan ya ampun, memangnya kenapa dengan penampilan fisik? Asal kau sehat, jiwa dan raga, bagi Nick itu sudah cukup. Peduli amat dengan iklan-iklan di tivi yang menggembar-gemborkan bahwa kulit putih itu lebih cantik, rambut panjang hitam lurus lebih menarik, tinggi langsing itu indah. Kulit hitam juga cantik jika dirawat. Bahkan bagi Nick rambut pendek keriting lebih menarik, dan kata siapa pendek mungil itu tidak menarik? Ia pernah berkenalan dengan seorang gadis yang tingginya tidak sampai seratus lima puluh sentimeter dan ia menganggap gadis itu bahkan lebih menarik daripada model iklan di majalah. Tapi mungkin karena Nick belum sanggup bekerja di Indonesia itulah yang menyebabkan tuan mengirimnya ke kota Melbourne.

Melbourne. Kota empat musim dalam sehari. Disinilah ia sekarang. Tinggal di sebuat flat kecil seharga A$ 700 per bulan. Sudah hampir dua bulan, tapi ia tahu, ia belum mengerjakan apa-apa. Hanya kebetulan mendapat pekerjaan sampingan. Berjualan baju di Victoria Market. Sebuah tempat paling favorit bagi para turis untuk membeli oleh-oleh atau souvenir murah khas Australia buat keluarga dan sahabat-sahabat mereka. Juga tempat dimana ia bisa berbelanja bahan-bahan makanan macam ikan, daging, sayuran dan buah-buahan. Pasar tradisionalnya penduduk Melbourne. Hanya tidak berbau pesing dan amis seperti pasar tradisional di Indonesia.

Baru setelah Nick tinggal di Melbourne inilah, pemuda itu mengenal transportasi baru bernama tram. Kendaraan yang unik. Itu pendapat Nick. Menggunakan tenaga listrik dan merupakan salah satu transportasi utama yang digunakan sebagian penduduk Melbourne. Ia pulang balik dari pasar ke flatnya hampir setiap hari dengan menggunakan tram. Karena itu, ia sering bertemu dengan orang-orang yang sama. Tapi tidak semua orang-orang itu dapat ia ajak bicara. Yah, sejak ia harus menggunakan tram sebagai sarana transportasi utama, ia melihat ada lima macam penumpang tram: jenis penumpang yang selalu makan (burger, sandwich, chips, dll), jenis penumpang yang menutup kupingnya dengan lagu-lagu yang dipasang dari mp3, iPod atau ponsel mereka, jenis penumpang pembaca yang menundukkan kepalanya sampai akhir perjalanan mereka, jenis penumpang berbicara baik melalui ponsel maupun dengan sesama kawan seperjalanan mereka dan jenis penumpang diam, yang hanya duduk, cepat-cepat mengambil tempat di dekat jendela kemudian melamun.

Tapi, Nick selalu mengambil kesempatan untuk, paling tidak, tersenyum tulus dari dalam hatinya sambil menyapa mereka yang kebetulan duduk disampingnya atau dihadapannya. Ketika baru pertama kali tiba di kota ini, Nick tertegun melihat kebiasaan orang-orang yang tinggal disini menyapa orang lain atau orang asing dengan ‘Hi, how’re you?’ tapi tidak benar-benar menunggu jawaban lawan bicaranya. Pernah suatu kali ia berbelanja di supermarket, sambil menghitung belanjaannya penjaga kasir yang bertugas menyapanya, “Hi, how’re you?”. Tapi jangankan menunggu jawaban Nick, penjaga itu melihat Nick pun tidak. Ia lebih sibuk mengurusi belanjaan pemuda itu dan bahkan tidak menjawab sahutan Nick. Seolah-olah sapaan itu hanya meluncur keluar dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Dan kemudian Nick terbiasa dengan sapaan itu. Berusaha beradaptasi dengan orang-orang di sekelilingnya.

Suatu petang, saat ia hendak pulang ke flatnya yang hangat (karena diluar rintik hujan di musim panas, selamat datang di Melbourne!), duduk di hadapannya seorang gadis bertubuh tambun, berambut merah, hidung bertindik dengan bintik-bintik cokelat di kedua pipinya. Jenis penumpang kategori nomor lima. Gadis itu mengenakan busana ketat yang menonjolkan payudaranya yang besar dan rok mini yang tentu saja, tidak bisa menutupi pahanya yang juga besar. Ia menghempaskan tubuhnya yang tambun itu, melihat keluar jendela, dan melirik Nick. Satu detik. Satu detik yang berharga, yang membuat Nick tidak membuang-buang waktu yang sedikit itu.

Pemuda itu tersenyum. “Hi, how’re you?” sapanya hangat.

Gadis itu mengangkat alisnya setengah tertegun. Tidak mengharapkan ada sapaan yang datang sehangat itu. Apalagi didalam tram. Tapi sejurus kemudian, ia tersenyum. Manis sekali. “Tidak jelek,” jawabnya dalam bahasa lokal. “Dan kau?”

“Sangat baik, terima kasih,” jawab Nick. “Mengapa?”

“Mengapa apa?”

Nick tertawa renyah. “Maafkan kelancangan saya. Tapi saya belajar bahwa jawaban ‘tidak jelek’ kadang-kadang bisa berarti ‘jelek sekali’.”

“Oh.” Sedetik kemudian, Nick melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Ia lalu memakai kacamata hitam (yang tidak aneh dipakai di petang hari di musim panas di Melbourne, karena gelap baru datang tatkala jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam) untuk menutupinya. Kemudian gadis itu menatap keluar jendela lagi seolah-olah diluar ada sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet. Tapi ia memandang Nick kembali dibalik kacamata hitamnya.

“Terima kasih,” katanya, “atas kepekaanmu. Tidak banyak orang peduli padaku akhir-akhir ini.”

“Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan lancang. Berani-beraninya ia bertanya. Memang betul apa yang gadis itu katakan. Orang-orang disini kadang-kadang tidak peduli. Kau mau pakai baju aneh pun tidak akan dilirik dan dipergunjingkan oleh mereka. Berbeda sekali tatkala ia naik bemo di Indonesia, seorang gadis dengan tank top dan celana ketat pun dilirik penuh nafsu oleh penumpang laki-laki, ditatap aneh seolah-olah gadis itu salah masuk kendaraan umum dan dibicarakan habis-habisan dengan keluarga dan kawan-kawan mereka begitu ibu-ibu itu turun dari bemo.

“Thanks again.” Tapi gadis itu menggelengkan kepala. Dan ketika ia melirik keluar jendela, ia segera bangkit dan menarik kabel diatas kepalanya. Tanda pemberitahuan kepada supir tram bahwa ada penumpang yang akan turun di perhentian berikut. “So, what’s your name?”

“Nick.”

“Nick.” Gadis itu mengulanginya. “Aku Anya. Senang berkenalan denganmu.”

Sekali lagi Nick tersenyum. Tulus. “Aku juga. See ya. Have a good day.”

Dan gadis itu turun. Meninggalkan bunyi berdebum diatas lantai tram karena sepatunya yang tinggi.

*****
Gadis itu lagi. Nick mengenalinya. Dan karena cuaca mendingin menjelang musim gugur, gadis itu tak lagi mengenakan busana super mini untuk menutupi tubuhnya. Sweater merah maroon dan celana jeans panjang yang menggantikan. Tangannya menggenggam sebotol Victoria Bitter yang setengah penuh. Matanya masih saja melamun, menatap keluar jendela. Seolah-olah ada sesuatu yang menarik diluar sana diantara rumah-rumah yang berderet. Ketika Nick mendekatinya untuk duduk dihadapannya, tanpa sengaja ia menendang sebuah botol bir kosong persis seperti yang gadis itu minum.

“Oh, maaf,” kata gadis itu tersadar bahwa seseorang tanpa sengaja tersandung dengan botol bekas minumannya.

“Hi, Anya,” sapa Nick sambil mengambil botol bir kosong yang baru ia tendang itu. “Ini punyamu?”

Yang disapa cuma melongo seperti kerbau dicocok hidungnya. “Nick?”

“Senang kau masih ingat namaku.”

“Seharusnya aku yang bilang begitu.”

“Oh, tidak. Sungguh. Kadang-kadang aku bertemu orang-orang yang sama di tram ini. Kami pernah berkenalan, tapi ketika kami bertemu lagi, mereka sudah tidak ingat lagi padaku. Contohnya pria tua itu.” Nick menunjuk seorang pria tua yang duduk tak jauh dari tempat duduknya. “Hi, Eddie!” Pria tua itu menjawab sapaan Nick dengan tatapan bingung, kemudian menundukkan kepala membaca buku. “Betul kan?”

Anya tersenyum geli. Senyumnya manis sekali. Tapi Nick menduga gadis itu jarang tersenyum, lebih suka mengerutkan kening. Nick melihat bekas tanda kerutan itu di kening Anya.

“Kau tahu tidak?” Nick meneruskan. “Senyummu manis sekali.”

Anya berhenti tersenyum. Melihat keluar jendela lagi. Seolah-olah diluar ada sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet.

“Kau marah?”

Anya mendesah. Meneguk Victoria Bitter-nya yang tinggal setengah. “Dulu ia juga mengatakan hal itu.”

“Ia?”

“Siraj. Mantan pacarku. Kami baru saja putus.”

“I’m sorry.”

“It’s ok. Aku sedang berusaha melupakannya. Tapi tidak mudah.” Ia mendesah lagi. Melirik botol yang ia pegang. Tinggal seperempatnya. Gadis itu meneguk lagi. Habis.

“Kau ingin melupakannya dengan dua botol bir?”

“Empat. Aku sudah meminum dua tadi. Ini botol yang keempat. Dan botol yang kaupegang itu botolku yang ketiga.”

“You alright?”

“I’m fine.” Ia melirik lagi keluar jendela kemudian menarik kabel diatasnya. “Time to get off.” Ia tersenyum lagi. Seolah-olah menyayangkan pertemuan singkat mereka. “See ya, Nick.” Dan terhuyung-huyung gadis itu turun begitu tram berhenti.

Nick tercenung.
*****
Kemudian, entah bagaimana, sejak itu Nick jadi sering bertemu Anya. Di tram yang sama. Kadang-kadang gadis itu menggenggam Victoria Bitter di tangan yang satu, bacon burger di tangan yang lain dan Nick sudah berani mengolok-oloknya. Mana cocok bacon burger dengan bir? Dan dari pertemuan-pertemuan singkatnya dengan Anya, ia tahu bahwa gadis itu selalu melarikan diri dari masalah yang ada dengan minum bir dan makan yang banyak. Nick jadi tahu kemana larinya sisa-sisa makanan itu di tubuh Anya….

Suatu hari Anya menunjukkan foto waktu ia baru saja diwisuda. Disitu berdiri lelaki berkulit gelap, berhidung mancung, bermata lebar. “That’s Siraj,” tunjuknya.

Nick menganggukkan kepalanya. Sudah tahu. “Dan gadis cantik disebelahnya?”

Anya tertawa keras. “Itu aku, bodoh.”

Nick mendekatkan foto itu berusaha mengamati gadis yang mengenakan toga dengan teliti. “Itu kau?”

Anya mengangguk.

Nick menatap foto yang ada ditangannya lagi. Berusaha mencari sebentuk kemiripan dengan Anya yang dihadapannya sekarang. Begitu berbeda. Tapi senyum gadis yang di lembar foto itu memang milik Anya. Senyum manis khas Anya. Tapi gadis bertoga di lembar foto itu bukan gadis tambun yang duduk disebelahnya sekarang. Bukan gadis dengan lengan dan paha besar yang ia kenal beberapa hari yang lalu. Bukan. Gadis di foto itu begitu langsing. Dan lebih bahagia.
Anya mendesah lagi. “Sejak remaja aku selalu menjaga bentuk tubuhku. Karena aku beranggapan dengan tubuhku yang seperti itu aku akan lebih disukai teman-temanku. Baik teman-teman wanita maupun teman-teman pria. Kemudian waktu kuliah aku berkenalan dengan Siraj. Mahasiswa dari India. Kami satu jurusan. Kami sering satu kelompok diskusi. Aku menyukainya, karena ia, satu-satunya pria yang selalu mengatakan bahwa perempuan montok seperti aku sekarang inilah yang menarik. Terpesona dengan filosofinya, aku berpacaran dengannya. Dan aku, tak lagi menjaga bentuk tubuhku. Ia toh tak keberatan. Sampai saat ini. Bahkan ketika ia memutuskan aku pun.”

“Kau tahu mengapa ia…?”

“Memutuskan aku? Karena ia bertemu dengan perempuan sebangsanya. Lebih langsing. Lebih cantik. Lebih sepadan dengannya. Ia tak lagi tertarik dengan perempuan montok seperti aku.”

“Kau cantik. (Pipi Anya memerah) Hanya tidak bahagia. Karena kau mengukur kecantikan dari apa yang disodorkan orang-orang yang kauanggap sebagai kawan. Kau menjaga bentuk tubuhmu. Itu bagus. Tapi cobalah untuk alasan yang berbeda. Untuk kesehatan tubuhmu dan kebahagiaanmu sendiri. Karena bagaimana kau merawat tubuhmu terpancar bagaimana kau menghargai hidupmu.”

Anya terdiam. Melirik keluar jendela lagi. Seolah-olah, setelah percakapan mereka itu, ia menemukan sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet. Lalu ia menarik kabel diatas kepalanya. “Time to get off.” Gadis itu kembali terdiam. Hening sesaat. Dan sebelum tram itu berhenti di perhentian berikut, Anya menatap Nick dalam-dalam. “Apa pendapatmu tentang diriku?”

Nick tersenyum lebar. “Your smile is wonderful, Anya. Don’t worry be happy.”

Anya tersenyum. Manis sekali. Senyum termanis yang gadis itu pernah berikan buat Nick.
*****
Setelah percakapan itu, Nick tidak bertemu gadis itu lagi selama beberapa minggu. Ia tidak tahu kemana perginya Anya. Tapi tidak berusaha mencari. Ia masih tetap pulang balik dengan tram yang sama. Sering bertemu dengan orang-orang yang sama. Pak tua Eddie pun lama-lama menyadari kehadirannya. Sudah bisa bercakap-cakap panjang lebar. Sudah bisa bercerita bahwa pak tua itu sedang menunggu kelahiran cucunya yang ketiga dalam bulan ini. Sudah bisa bercanda dengan Nick.

Tapi Anya seperti menghilang begitu saja. Apa gadis itu menghindari Nick?

Dan sore itu ia mendapat kejutan. Seorang gadis cantik berambut merah menyapanya ketika ia sedang memesan kopi untuk diminum panas-panas di tram sepulangnya bekerja di Victoria Market.

“Hi, Nick.”

Nick terkejap. Senyum itu. “Anya?”

Gadis berambut merah itu terbahak. “That’s me!”

“Anya! Apa.. apa kabar?” Ia menyingkir setelah menerima kopinya dan mempersilahkan orang lain di belakang antriannya untuk maju.

“Very well, thanks. So? Bagaimana pendapatmu?”

Nick memandang Anya yang memutar tubuhnya bak seorang peragawati di hadapannya.

"You’re so beautiful!”

Anya tertawa renyah. Menarik Nick keluar dari Gloria Jean’s, tempat Nick membeli kopi.

“Kau mau menemaniku makan malam?”

Nick menyeruput kopinya. “Is it ok for your diet?”

Anya tertawa lagi. “Sure. Tidak apa-apa. Kata instrukturku sesekali boleh saja. Ayolah.”

Gadis itu menyeret Nick ke restoran terdekat.

Nick tahu. Malam itu ia bertemu Anya yang berbeda.
*****
Baru saja Nick dihubungi tuannya. Beliau berharap Nick melakukan tugasnya dengan baik. Nick melakukan tugasnya dengan baik. Ia berusaha sebisa-bisanya. Tapi, Anya, gadis itu memendam harapan berlebih pada dirinya.

Dan Nick kesulitan memberitahu Anya, bahwa ia hanyalah seorang malaikat yang tidak boleh punya hubungan intim dengan manusia.

Tugasnya hanya satu. Membuat dunia ini jadi lebih baik. Itu saja.


Melbourne, 10 Mei 2006
Dedicated to all girls in the world
“You are beautiful no matter what they say, words can’t bring you down….” – Beautiful by C. Aguilera

baca lanjutannya...

Thursday, April 2, 2009

badai

Aku sedang mengetikkan kesimpulan terakhirku siang itu sambil tersenyum puas ketika ponselku berdering, karena itu aku tak langsung mengangkat panggilan itu. Aku yakin ini akan menjadi revisiku yang terakhir dan terbaik yang akan kuajukan pada dosenku sebagai tugas akhirku semester ini. Kulirik layar ponselku, dan nama 'papa' tertera di layar. Dengan riang aku menjawab deringnya dan menyapa papaku hangat. Hampir dua minggu ia tidak meneleponku, dan sebagai anak rantau tentu saja merupakan kebahagiaan tersendiri jika papa atau mama meneleponku.

"Halo, Pa! Kangen sama Ra?" sapaku riang.

Hening disana. Dan tiba-tiba ada secercah perasaan tak enak mendera tubuhku. Adrenalinku naik begitu cepat seolah-olah saat itu aku sedang menunggu keputusan eksekusi di pengadilan.


"Papa?" Sekali lagi aku memanggil dengan hati-hati.

Terdengar helaan nafas panjang disana, kemudian lirih kudengar, "Mama masuk rumah sakit, Ra."

Jantungku seakan berhenti berdetak. "Mama kenapa, Pa?"

Tak segera terdengar jawaban, dan waktu beberapa detik itu bagaikan beberapa abad bagiku. "Mama terkena stroke. Tiga hari yang lalu. Papa tidak langsung mengatakannya padamu, karena Papa tahu kamu sedang tes akhir."

"Tapi Pa, kenapa, bagaimana?" Aku yang biasa berceloteh jika berbincang-bincang dengan Papaku menjadi kehilangan kata-kata. Bahkan saat itu kata-kata yang biasa terucap dari mulutku menguap ditelan angin.

"Papa tidak bisa menceritakannya sekarang. Terlalu panjang untuk diceritakan di telepon."

"Tapi, Pa, bagaimana keadaan Mama sekarang?" tanyaku panik ketika Papa hendak memutuskan hubungan.

Papa menghembuskan nafas. Dan meskipun lewat telepon, aku dapat merasakan kekhawatiran Papa, kesedihan Papa. "Sudah dioperasi. Dan keadaannya akan membaik."

Dari nada suaranya aku tahu Papa cuma tak ingin membuatku khawatir. Ia tak hanya ingin menghiburku tapi juga menghibur dirinya sendiri. Papa tahu kalau aku orang yang selalu dipenuhi kekhawatiran ketika ada di tengah-tengah keadaan yang tidak beres dan tentu ia tak mau mengganggu kuliahku.

"Mama dirawat di rumah sakit mana?" tanyaku sambil berharap-harap cemas kalau-kalau Mama dirawat di rumah sakit di kota kecilku yang berarti keadaannya memang tidak terlalu parah.

"Di Semarang."

Hampir pingsan aku mendengarnya. Harapanku punah. Itu berarti keadaan Mama lebih parah dari apa yang dikatakan Papa.

"Ra akan ke Semarang nanti malam atau besok, Pa. Ra mau lihat keadaan Mama."

"Ra, Papa telepon kamu bukan menyuruhmu kesini. Papa cuma ingin kau tahu. Selesaikan dulu tugas-tugas kuliahmu. Disini sudah ada Papa, Oma dan Tante Dina. Kau tidak perlu khawatir, Mama sudah ditangani dengan baik."

"Tapi, Pa..." Bagaimana mungkin aku bisa tenang mengerjakan tugas-tugas kuliahku sementara kepalaku dipenuhi tanda tanya dan perasaan ingin tahu bagaimana keadaan Mamaku sebenarnya? Seberapa parahkah? Sudah mulai membaikkah? Atau yang lebih parah, tak ada harapan lagi?

Papa akan kabari lagi keadaan Mama selanjutnya, dan Papa akan beritahu kamu kapan kamu harus kesini. Mengerti, Ra? Selesaikan tugas-tugas kuliahmu dulu, Papa nggak mau itu semua terbengkalai. Kalau itu terjadi, kekhawatiran Papa bakal bertambah, kau tahu?
"Ya, Pa," sahutku lemah mendengar nada tegas Papa. "Ra tunggu kabar Papa selanjutnya."

Hubungan telepon kami terputus. Dan aku merasa saat ini aku cuma seonggok raga tanpa jiwa, karena jiwaku sudah meninggalkanku - pergi sendirian bersamaan dengan terputusnya hubungan teleponku dengan papa. Tak ada lagi yang kuingat. Otakku tiba-tiba kosong dan tubuhku seperti tak bertulang. Bahkan aku tak ingat dimana aku berada sekarang. Somebody help me, please!

*****
Malam itu mungkin malam yang terburuk dalam hidupku. Nafasku sudah sesak dan air mata terus mengalir turun. Sayup-sayup kudengar tawa dan canda teman-teman kost-ku. Inginnya aku bergabung dengan mereka dan tertawa bersama-sama mereka. Tapi, bahkan kakiku pun menolak untuk diperintah. Dan disinilah aku, diam diatas tempat tidurku ditemani isak tangis yang tak kunjung berhenti. Aku berpikir, seandainya aku dikaruniai sepasang sayap seperti burung, tentu sekarang aku sudah terbang dan ada di samping Mama untuk memberikan sedikit kekuatanku untuknya Tapi toh, itu hanya 'seandainya'.

Baru kusadari, betapa sayang aku pada Mamaku. Selama ini aku nyaris tak pernah berpikir demikian. Dan ketika aku menyadarinya, aku bahkan tak bisa mengungkapkannya pada Mama. Kalau memungkinkan, ingin kubuat seribu burung untuk mengajukan satu permohonan pada Tuhan yang di atas untuk menyembuhkan Mama.

Tawa canda itu kembali terdengar - mengusik telingaku. Membuat hatiku merintih dan berpikir tak ada yang peduli padaku. Dan aku berkata pada diriku, tidak! aku tidak ingin bergabung dengan mereka. Aku tak ingin menjadi munafik - tertawa padahal hatiku menangis dan gembira padahal jiwaku meratap sedih. Kutatap langit malam lewat jendela kamarku. Kadang aku ingin tegar seperti rajawali dan kuat bagai elang, tapi kenyatannya aku rapuh seperti seekor domba.

Ponselku tiba-tiba berdering. Segera kuhapus air mataku dan kuhentikan isak tangisku untuk kemudian bangkit menyambarnya sambil berharap itu kabar dari Papa. Tapi itu bukan Papa. Bukan Oma. Juga bukan Tante Dina. Cuma Josh.

"Ya?" jawabku malas.

"Ra? Kau dimana?"

"Di kamar, Josh. Ada apa?"

"Kau baik-baik saja? Suaramu tidak seperti biasanya."

Apa yang harus kujawab? Aku baik-baik saja? Pembohong! Lalu? Apa yang harus kujawab? "Yah.... Not too good...." Nah, aku tidak berbohong kan?

"Ada apa?" tanyanya lembut.

"Seharusnya aku yang bertanya, Josh."

"Aku hanya meneleponmu untuk memastikan kau baik-baik saja. Kedengarannya menggelikan, tapi aku merasa kau sedang memerlukan seseorang."

Oh, Josh. Bagaimana kau tahu itu? "Terima kasih, Josh. Hanya Mamaku."

"Mamamu? Ada apa dengan beliau? Kau bertengkar lagi dengan Mamamu?"

Jangan ingatkan aku lagi tentang pertengkaran hebatku dengan Mama waktu itu, Josh! Aku tidak ingin mengingatnya saat ini, dan betapa aku menyesalinya! "Tidak, tidak. Mama masuk rumah sakit, Josh. Stroke."

Hening sejenak. "Astaga, Ra. Itu yang kaukatakan 'hanya'? Bagaimana keadaannya? Baik-baik saja? Di rumah sakit mana?"

Mendengar pertanyaan-pertanyaan Josh, isak tangis itu mulai lagi. "Aku tidak tahu, Josh! Aku tidak tahu! Papa bilang Mama baik-baik saja, tapi aku tahu itu cuma untuk menghiburku! Seandainya aku tahu, mungkin itu bisa membuat keadaanku jadi lebih baik!"

Josh terdiam sejenak. "Ra, aku disini jika kau memerlukan aku."

Tangisku kembali meledak. "Oh, Josh, aku sendirian disini! Tak ada seorangpun yang peduli denganku! Bahkan Tuhan pun ikut diam!"

"Ra! Itu tidak benar! Tuhan ada disitu bersamamu. Aku akan kesana sebentar lagi. Tunggu aku."

"Josh! Aku tidak mau merepotkanmu. Dan lagi, ini sudah larut malam. Sudahlah, aku akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja." Kutekankan kalimat terakhir itu untukku sendiri.

"Ra... ."

"Selamat malam, Josh." Dan kututup ponselku.

Maafkan aku, Josh. Aku tahu kau peduli padaku, tapi aku tak menemukan alasan mengapa aku harus membuatmu khawatir untuk sesuatu yang rewel yang disebut 'aku'. Kuhembuskan nafasku dalam-dalam. Sering aku berkata pada diriku sendiri untuk tidak selalu manja dan menggantungkan diriku pada orang lain. Tapi, kalau Adam saja memerlukan Hawa, mengapa aku tidak boleh memerlukan orang lain disampingku?
*****
Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Disinilah aku sekarang. Di samping tempat tidur Mama yang sedang terbaring dengan alat-alat yang menancap di kepalanya dan juga tangannya. Kulihat wajahnya tampak pucat dan tubuhnya bertambah kurus. Pun demikian ia masih terlihat cantik. Just like my mom.

"Selang untuk apa itu, Pa?" tanyaku perlahan.

"Ada pembuluh darah mama yang pecah dan darahnya tersumbat di otak, dan darah itu harus disedot."

"Sampai kapan selang itu harus ada disana? Mama terlihat mengerikan dengan selang itu."

Papa menatapku tajam. "Ra. Selang itu membantu menyembuhkan Mama. Sabarlah."

Aku melengos dan melihat pasien yang sekamar dengan Mama. Seorang anak perempuan yang sebaya denganku. Dia bahkan lebih kurus dari aku, padahal teman-teman sering mengolok-olokku kalau aku orang terkurus yang mereka tahu. Bahkan Josh pun mengatakan hal yang serupa.

Josh.

Aku belum bercerita pada Mama tentang Josh. Tepatnya, belum sempat. Aku belum sempat menceritakan kedekatan kami, perasaan kami, terutama perasaanku. Aku dan Josh memang belum mengibarkan bendera cinta. Tapi aku tahu diantara kami ada cinta. Dan bendera cinta itu siap dikibarkan kapanpun kalau saja aku tidak menahan tangannya untuk mengibarkan. Aku belum siap. Entah kenapa.

Kutatap wajah Mama, dan kugenggam tangannya yang dingin. Hatiku merintih perlahan. Mama yang cerewet. Mama yang selalu ingin segala sesuatunya sempurna. Mama yang terlalu menyayangiku. Dan Mama yang ada dihadapanku ini bukan Mama yang kukenal. Mama yang dihadapanku ini begitu rapuh. Pendiam. Dingin. Aku takut mengakuinya, tapi aku hampir-hampir tidak mengenal Mamaku. Hanya wajahnya saja yang masih memancarkan kecantikan Mama yang tersamar.

"Selamat sore, Pak."

Aku terlonjak kaget dan cepat-cepat menghapus air mata yang tak sengaja meleleh di pipi karena tak mengira ada tamu pada jam segitu. Kulirik jam dinding kamar rumah sakit. Pukul empat tiga puluh lewat sedikit. Pantas orang-orang mulai berkunjung.

"Apa kabar, Pak Andre?" sahut Papa. Papa melirikku sambil memberi isyarat untuk menyapa Pak Andre yang baru datang.

Aku cuma tersenyum sambil mengulurkan tanganku.

"Ini anak Bapak yang pertama?" tanyanya sambil menunjukku.

Papa mengangguk sambil tersenyum. "Dia kuliah di Surabaya, jadi tidak pernah kelihatan. Adiknya sedang dirumah."

Pak Andre mengangguk-angguk perlahan. Kemudian perbincangan klise antara pengunjung rumah sakit dan penunggu pasien mulai. Bagaimana asal mulanya, kenapa bisa jadi seperti ini, bla bla bla. Aku duduk kembali dan menatap wajah Mama kembali sambil terus menggenggam tangannya yang dingin, sama dinginnya dengan besi-besi yang ada disamping tempat tidur Mama. Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa sentuhan kasih sayang pada orang sakit akan mempercepat kesembuhan, dan itu yang sedang kulakukan sekarang.

"Ra," panggil Papa. "Pak Andre mengajak berdoa."

Aku bangkit dan melangkah keluar.

"Ra? Tidak ikut berdoa?" tanya Papa menghentikan langkahku sambil mengerutkan kening.

Aku menggeleng dan melangkah pergi keluar ruangan. Di lorong rumah sakit yang mulai ramai oleh pengunjung, berdirilah aku - menghirup udara disitu. Terdengar gelak tawa dari kamar sebelah, diiringi jeritan pilu dari kamar ujung lorong. Disinilah tempat banyak nyawa manusia dijemput oleh malaikat maut. Tempat yang penuh dengan tangisan dan penderitaan, meskipun sesekali terdengar ada tawa riang. Bahkan suara tawa pun bisa terdengar mengerikan memantul di dinding-dinding rumah sakit ini.

Ponselku bergetar. Kulirik nama yang tertera di layarnya. Josh. Agak lama baru kuangkat telepon itu.

"Ya, Josh."

"Ra, apa kabar?"

"Kabarku atau Mamaku?"

"Bagaimana kalau keduanya?"

"Aku baik. Dan Mamaku... aku tidak tahu."

"Tidak tahu? Apa kata Papamu dan dokter yang memeriksanya?"

"Aku tidak begitu percaya pada mereka. Yang dokter lakukan cuma sebuah hipotesis yang masih perlu pemeriksaan lebih lanjut, dan yang Papa lakukan cuma sesuatu untuk menghibur diri."

"Ra!"

"Baiklah, Josh. Kata dokter, keadaan Mama mulai membaik meskipun masih ada selang yang menancap di kepalanya."

"Selang?"

"Untuk menyedot darah Mama yang tersumbat di saluran otak. Itu kata Papa. Aku tidak tahu yang sebenarnya terjadi di dalam kepala Mama."

"Ra...!"

"Josh, aku tak tahan melihat keadaan Mama. Wanita yang sedang terbaring di dalam seperti bukan Mamaku. Ia cuma seorang wanita dengan wajah Mama."

"Kau tidak menemani Papamu?"

"Papa sedang berdoa dengan seorang pendeta."

"Dan kau tidak ikut berdoa?!"

"Haruskah?" jawabku dingin.

"Ra, cuma itu yang bisa kamu lakukan kan? Memohon pada Tuhan atas kesembuhan mamamu!"

"Aku sudah melakukan itu berhari-hari, Josh. Dan tak ada sesuatu pun terjadi. Hari ini sudah minggu kedua Mama di rumah sakit, dan aku tidak melihat tanda-tanda Tuhan menjawab doaku!"

"Ra, kau seperti seseorang yang tak pernah kukenal. Kemana Ra yang tegar? Kemana Ra yang selalu mengatakan padaku untuk menyerahkan segala kekhawatiran pada Tuhan lewat doa?"

Aku cuma diam. Memang tak ada yang ingin kukatakan untuk menanggapinya. Lagipula apa yang harus kutanggapi? Tidak ada.

"Ra, Mamamu sudah cukup membuatku kalut sekarang ini, jangan menambah kekacauan dengan sikapmu!"

"Aku hanya sedang tidak ingin berdoa, Josh, tahukah kau? Apa yang kau mengerti? Kau tidak merasakannya sendiri. Mamamu masih begitu sehat dan tak ada yang perlu kau khawatirkan. Kau hanya tidak mengerti!"

"Kalau begitu buat aku mengerti mengapa kau bersikap seperti itu."

"Josh, dengar. Aku lelah. Sudah beberapa hari terakhir ini aku tidak bisa tidur. Aku tidak mau kau meneleponku hanya untuk marah-marah padaku."

"Tapi, Ra, keadaanmu sama mengkhawatirkannya dengan keadaan Mamamu."


"Oh, Josh, kau jadi seperti dokter disini dengan segala hipotesanya. Hebat. Kau mungkin bahkan lebih hebat dari mereka karena kau melakukan hipotesa itu hanya melalui telepon!"

Josh mendesah. "Apa yang harus kulakukan, Ra?"

"Mudah. Tutup saja telepon ini. Aku sedang tidak ingin mendengar siapa-siapa."

"Ra... ."

Kumatikan ponselku tanpa mendengarkan apa katanya lagi dan menon-aktifkannya. Josh yang tidak mengerti. Josh yang selalu khawatir. Maaf, Josh. Jangankan kau, aku pun tidak mengerti mengapa aku jadi seperti ini.

"Ra."

Aku menoleh ketika Papa memanggilku.

"Pak Andre mau pulang."

Aku mengangguk dan mengulurkan tanganku untuk yang kedua kalinya padanya.

"Ra, malam ini kau tidak usah jaga Mama."

Aku menaikkan alisku. "Kenapa, Pa?"

"Nanti ada Tante Dina dan Fani yang menjaga Mama. Lagipula, Papa pikir kau butuh istirahat. Kau kurang tidur, dan wajahmu terlihat pucat."

"Papa?"

"Papa akan istirahat di hotel. Kau pulang bersama Om Yo dan lusa balik sini dengan Ade."

"Baiklah, Pa."

Paling tidak, untuk sementara aku bisa menghilangkan jeritan-jeritan pilu di lorong rumah sakit ini dari pikiranku.
*****
Rumah yang sepi. Tak ada canda Papa. Tak ada kecerewetan Mama. Sungguh berbeda dengan rumah yang kutinggalkan terakhir kali. Cuma ada Ade dan Oma. Kuletakkan kepalaku diatas bantal. Kucium bau Mama di tempat tidur ini. Dan itu malah membuatku berat memejamkan mata, padahal sudah hampir pukul satu dini hari.

Sudah kumatikan lampu dari tadi. Tapi mata ini tetap saja tidak dapat diajak kompromi. Aku lelah. Jiwa dan raga. Tapi, tubuhku ini tidak mau menurut padaku. Iseng-iseng kunyalakan ponselku yang sudah kumatikan dari tadi. Satu pesan masuk. Dari Josh.

"Ra, bukan cuma kau yang menderita. Bukan cuma kau yang bisa menangis. Kau tahu? Disini pun aku menangis. Dan Tuhan pun ikut menangis."

Aku tidak bisa berdoa seperti biasanya. Aku tak tahu. Aku hanya tak ingin. Bolehkah? Malam ini aku membaca tentang penggerutu. Seseorang yang tak pernah merasakan kebahagiaan dalam hatinya. Seseorang yang selalu mengeluh tentang segala sesuatu dan tidak mengenal arti kata ‘terima kasih’ pada Yang Di Atas yang sudah memberikan segala sesuatu. Seseorang yang berpikir ia adalah orang yang paling menderita di dunia. Ukh. Bacaan itu sudah menohokku. Perih di hati. Tapi, kukeraskan hati. Bukankah aku melakukan hal yang tepat? Aku tidak munafik seperti orang-orang lain, yang ditengah-tengah kesedihannya bahkan mengatakan kata 'bahagia'. Tersenyum ketika hatinya meratap sedih. Aku tidak seperti itu, Tuhan! Tolong. Aku tidak ingin menjadi orang yang munafik!

Jujur saja. Saat ini aku memang tidak bisa mengucapkan syukur atas apa yang terjadi pada diriku. Mengucapkan syukur? Atas penyakit Mama? Tidak salah? Tuhan, aku tahu Kau ada, tapi Kau diam. Kau biarkan aku menangis dalam kesedihan ini. Aku bahkan tak mengerti mengapa Kau biarkan ini semua terjadi. Mengapa?!

Ukh. Air mataku mengalir kembali. Dan aku benci tak berhasil menghentikannya. Kali ini kuikuti kata hatiku setelah berhari-hari aku mencoba menghindarinya. Aku berlutut dan berdoa pada-Nya. Tepatnya, memohon. Dan cuma ini yang bisa kukatakan.

"Tuhan, maafkan Ra. Ra sedang tidak bisa mengucapkan syukur. Boleh? Tapi, Ra mau berdoa buat Mama, yang Kau ijinkan sakit saat ini. Ra mohon kesembuhan Mama. Itu saja permintaan Ra malam ini. Amin."

Sudah cukup. Sudah kuungkapkan perasaanku pada Tuhan. Dan aku yakin, jauh sebelum aku mengatakannya, Ia sudah tahu.
*****
Ade membuka pintu kamarku sambil tersenyum-senyum.

"Ada apa senyum-senyum sendiri?"

"Ra, kau tidak cerita kalau sudah punya pacar?"

Aku mengerutkan kening. "Pacar?"

"Iya. P-A-C-A-R. Pacar."

"Kenapa, De?"

"Ada seseorang yang cari kamu diluar. Cowok. Siapa lagi kalau bukan pacarmu? Aku nggak pernah lihat dia disini. Pasti kan orang Surabaya?"

Aku tersentak. Tidak mungkin! Aku segera berlari keluar, dan disanalah ia. Di depan pintu rumahku - di kotaku! Aku tidak percaya!

"Ra?"

"Josh! Apa yang kau lakukan disini?"

Josh tersenyum simpul memahami kekagetanku. "Mengunjungi seseorang yang sudah membuatku tidak dapat tidur nyenyak selama berhari-hari dan mengisi doaku tiap malam."

"Josh...."

"Tidak mempersilakanku masuk?"

Aku membuka pintu lebih lebar dan menyilahkan dia masuk ke ruang tengah.

"Nah," kataku ketika kami sudah duduk di ruang tengah. "katakan padaku mengapa kau tiba-tiba ada disini. Terlalu mengejutkan bagiku."

Ia menatapku dalam-dalam. "Kau terlihat pucat, Ra."

Aku terdiam mendengar perkataannya. "Itu tidak menjawab pertanyaanku."

"Ada lingkaran hitam di bawah matamu. Dan kau terlihat lebih kurus dari biasanya."

"Josh!"

"Bukankah aku sudah mengatakan tujuanku sejak awal, Ra? Aku mengkhawatirkanmu, dan aku tidak bisa duduk diam sementara kau berjuang sendirian disini."

Aku melengos. "Aku sudah bilang, kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Mestinya kau lebih khawatir soal Mamaku daripada aku."

Ia menatapku tajam. Belum pernah kulihat dia seperti itu. "Kupikir kau lebih sakit dari Mamamu."

Kutatap dia dengan pandangan marah. "Kau bilang aku sakit? Sakit?! Apa maksudmu?"

"Dengar, Ra, aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Mamamu, tapi kau bukannya menyerahkan kekhawatiran itu pada Tuhan, kau malah marah-marah pada-Nya!"

"Lalu? Apa pedulimu? Itu urusanku dengan Tuhan. Tidak bolehkah kuungkapkan kekecewaanku pada-Nya?"

"This is not the way, Ra."

"So? Show me the way."

"Lebih tepat kukatakan kau tidak berhak marah-marah pada-Nya."

Hampir aku berteriak kencang mendengar perkataannya itu. "Josh! Saat ini aku hanya tidak bisa mengucapkan syukur pada-Nya. Kau puas? Aku memang kecewa pada-Nya. Tidak bolehkah aku berbuat demikian? Aku hanya tak mengerti mengapa Ia biarkan ini semua terjadi. Mengapa Ia biarkan aku menangis dan berdoa bermalam-malam, tapi tetap diam dan tidak berbuat apa-apa terhadap Mama? Apa kau ingin aku seperti orang-orang munafik lainnya yang tersenyum meskipun menderita dan berkata 'aku bersyukur' padahal hatinya sedang meratap? Oh, Josh, aku tidak seperti mereka!"

Plak!

Kupegang pipiku yang baru saja ditampar oleh Josh. Sorot mata Josh terlihat berapi-api setelah mendengar semua perkataanku. Dan aku yakin sorot mataku pun sama membaranya dengannya.

"Apa maksudmu dengan ini, Josh?!"

Josh menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aku kecewa padamu, Ra. Sungguh. Dan sekarang dengarkan aku. Aku tahu kau sedih dan kesedihanmu membuat kau menderita. Aku mengerti kau tidak bisa mengucap syukur atas apa yang terjadi Mamamu. Tapi, Ra, kau bisa mengucap syukur atas hal-hal lain."

"Seperti?"

"Kau harus bersyukur kalau sampai hari ini Mamamu masih mendapatkan perawatan terbaik dari dokter. Banyak orang-orang yang punya penyakit lebih parah dari Mamamu tidak bisa mendapatkan perawatan yang seharusnya mereka dapatkan. Kau juga harus bersyukur kalau sampai hari ini Papamu masih setia merawat Mamamu dan meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu. Banyak suami-suami meninggalkan istrinya yang sakit dengan suster yang digaji. Itu menunjukkan betapa sayangnya Papamu pada Mamamu dengan keadaannya yang seperti itu. Kau juga harus bersyukur bahwa saudara-saudaramu ada disekitarmu untuk menolongmu kuat menghadapi ini semua. Nah?"

Aku cuma terdiam. Bahasaku menguap. Aku kehilangan kata-kata. Tapi justru ketika aku kehilangan kata-kata itulah, jiwaku kembali. Ada secercah rasa hangat yang menyinari hatiku yang sempat membeku. Dan tangan Tuhan seperti menjamahku. Begitu hangat dan nyaman. Lalu, aku merasa, besok pagi matahari akan bersinar lebih cerah dari biasanya dalam hatiku setelah mendung itu berangsur-angsur pergi. Dan kudengar suara Tuhan berkata padaku, "AKU disini, Ra, meneteskan air mata bersamamu."
*****
Kenyataannya aku berhasil bertahan sampai minggu keempat. Hari ini wajah Mama terlihat lebih segar meskipun ia sulit bergerak dan berbicara. Selang mengerikan yang menancap di kepalanya sudah dilepas dan itu membuat ia tampak lebih Mama. Yang jelas Mama sudah dapat bereaksi terhadap sekelilingnya. Ia bahkan sudah bisa menggodaku tentang Josh. Ade yang mengatakannya. Tapi aku menikmati godaannya. Meskipun itu diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas.

Aku malu mengakuinya, tapi harus kuakui aku belajar banyak dari ini semua. Kusadari betapa bodohnya aku selama ini. Kupikir aku orang yang paling menderita di dunia. Kupikir aku orang yang sudah meneteskan air mata yang dapat membuat sungai meluap selama ini. Dan kupikir aku tidak munafik dengan segala hal yang sudah kulakukan. Tapi aku cuma satu dari para penggerutu itu. Yang tidak tahu terima kasih atas semua yang sudah diberikan.

Saat kutoleh kebelakang. Aku menyadari banyak yang sudah Tuhan berikan untukku dan kulupakan. Dan betapa konyolnya tiap suku kata yang aku ucapkan waktu itu. Kini, air mataku kering sudah. Yang aku miliki sekarang cuma harapan dan doa. Aku percaya dengan doa segala sesuatu yang menakjubkan dapat terjadi. Dan dengan harapanlah, kekuatan itu muncul karena manusia bisa hidup dengan harapan-harapan yang dimilikinya.

Satu lagi. Aku lupa mengatakan ini pada Josh. Ia sudah mengajarkan aku arti cinta dan kepercayaan. Bahwa ketika aku percaya, sesuatu yang tak mungkin bisa menjadi mungkin. Dan cinta menjadi kekuatan untuk itu - untuk tetap berdiri meskipun badai hebat melanda. Lebih dari itu, aku yakin akan hal ini. Josh cuma salah satu dari sekian banyak anugerah Tuhan yang dikirim lewat cinta antara jiwa seorang laki-laki dan hati seorang perempuan.

Dan kemudian kugoreskan seuntai pengalaman itu di langit-langit hatiku. Terkadang, hanya dengan penderitaanlah manusia belajar bergantung kepada Tuhan dan melalui kepahitanlah, manusia diajarkan untuk menjadi dewasa. Di lain waktu, Tuhan memang membiarkan hati kita terkoyak dan terluka supaya kita mengundang-Nya datang untuk mengobati luka itu dan mengeringkannya dengan cinta-Nya.

Kali ini, biarkan aku menangis dengan rasa syukur.

ps: Untuk seseorang yang sudah dikirim Tuhan untukku justru di saat-saat aku goyah - buat cinta dan kepedulian yang sudah aku terima. Kepadanya kupersembahkan tulisan ini.

June 25, 2003



baca lanjutannya...

Monday, March 16, 2009

manusia bernama papa

"Thanks, Rol."

Aku lantas membuka pintu mobil untuk keluar. Errol yang duduk di belakang setir di sampingku juga melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan.

Aku melirik arlojiku. Pukul sepuluh kurang dua menit. Aku menepati janjiku pada Papa untuk pulang ke rumah tidak lebih dari pukul sepuluh malam saat aku pergi bersama Errol tadi sore. Peraturan yang kuno, menurutku. Tapi, apa boleh buat. Daripada aku harus lagi-lagi bertengkar dengan lelaki yang hampir berumur enam puluh itu.
"Rumah selalu sepi di jam-jam segini?" tanya Errol - berdiri di sampingku di depan pintu pagar rumahku.

Aku mengeluarkan kunci dari tasku dan mulai membuka pintu pagar yang sudah dikunci. "Yah. Papa dan Mamaku selalu tidur cepat. Lagipula Papa besok harus ke kantor dan Mama harus pergi ke kampus untuk mengajar."

"Kedua kakakmu?"

"Yosi dan Ale?" Aku mendorong pintu pagar yang sudah terbuka. "Mungkin baru lewat tengah malam nanti mereka baru pulang."

"Papamu mengijinkan mereka?"

Aku mengangguk sambil nyengir masam. "Well, bukankah itu enaknya jadi cowok? Kau bebas pergi kemanapun kau mau dan pulang jam berapapun kau mau."

Errol meringis. "Kau dan kecemburuanmu terhadap laki-laki. Dua-duanya aku suka."

Aku cuma menaikkan alis mataku mendengar rayuannya. Sebelum aku menyadarinya, bibirnya tiba-tiba siap mencium bibirku.

Reflek aku mendorongnya keras-keras.

"Kana!"

Aku segera menoleh, melihat Papa berdiri di teras dan mengerti bahwa sebentar lagi akan ada petir menggelegar. Aku segera menoleh pada Errol.

"Cepat pergi," desisku. "atau kau akan segera dihantam badai."

Errol mengangguk dan tersenyum sekilas pada Papa yang sudah ada di depan pintu rumah dengan mata menyala-nyala.

Aku menutup pintu pagar sambil mengatur degup jantungku yang sudah tak keruan melihat tingkah Errol. Dia mau menciumku! Dan kalau aku tidak salah membaca gelagat tak enak ini, berarti Papa pasti melihat adegan itu.

Aku membalikkan badan dan berjalan menuju pintu rumah.

"Malem, Pa," sapaku sambil melewatinya.

"Kana!" panggilnya. Suaranya lebih menyeramkan dari sebelumnya.

"Ya, Papa," sahutku lesu sambil menghentikan langkahku.

"Masuk ke dalam," perintahnya.

"Kana sudah ada di ruang tamu, Pa. Papa yang masih di teras," ujarku malas-malasan. Aku tahu, bahwa setelah ini aku bakal mendengar omelan dari Papa. Papa yang keras. Papa dengan aturan-aturannya yang tidak bisa diganggu gugat. Papa yang terlalu melindungi aku.

Papa menutup pintu dengan perlahan karena ia tahu hari sudah malam, tapi memutar kunci dengan keras, memperlihatkan padaku bahwa ia sedang dilanda emosi.

"Papa... ."

"Papa tidak suka melihat anak perempuan satu-satunya Papa jadi gunjingan para tetangga."

"Tapi, Pa... ."

"Papa lihat dengan jelas apa yang dilakukan Errol tadi sebelum kau menutup pintu pagar."

Aku menghembuskan nafas. "Pa, aku...."

"Apa kau senang kalau kau jadi bahan pembicaraan antar tetangga kita... -"

"Pa...."

"- anak perempuan, baru juga kuliah, tapi udah berani-berani berciuman dengan pacarnya di depan rumah... ."

"Papa... ."

"Papa nggak mau itu terjadi lagi, Kana. Papa nggak suka!"

"Papa!" jeritku kesal.

Omelan Papa memang berhenti, tapi kemudian matanya menatapku tajam. "Ada pembelaan, Nona kecil?"

Aku mendengus. "Papa, Kana sudah besar. Kana sudah tahu mana yang baik dan mana yang benar. Kana tahu persis apa yang Kana lakukan. Apa yang Papa lihat tadi tidak seperti apa yang Papa pikirkan!"

Papa menaikkan alis matanya. Sama persis dengan kebiasaanku ketika mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan hati. "Jadi, menurutmu kau boleh melakukan hal seperti itu?"

"Papa, Kana nggak menyangkal kalau tadi Errol memang mau mencium Kana -."

"Nah...."

"- tapi Kana mendorongnya, Papa. Papa tahu itu? Kana nggak mau Papa marah-marah padahal Kana nggak melakukan sesuatu yang salah."

Mata Papa mulai mendelik lebar. Tanda bahwa emosinya siap merayap naik. "Jangan membantah Papa! Papa sebenarnya tidak suka kau keluar malam-malam dengan laki-laki yang baru Papa kenal dua hari! Kau pikir Papa tidak was-was memikirkanmu sepanjang sore ini?! -"

"Papa terlalu khawatir... ."

"- Khawatir! Tentu saja Papa khawatir! Bagaimana mungkin ada seorang papa yang tidak khawatir melihat anak perempuannya pergi dengan laki-laki yang memakai anting di telinganya! -"

"Papa, itu cuma... ."

"Mulai saat ini, Kana, Papa larang kau bertemu dengannya!"

Aku mendelik. "Papa! Papa tidak bisa seenaknya begitu! Hanya karena Errol memakai anting di telinganya lantas Papa menganggapnya sebagai anak tidak baik?! Sungguh tidak adil!"

Papa mengguncangkan bahuku. "Kau - mulai - berani - bantah - Papa?!" Dadanya naik turun dan nafasnya mulai sesak. Tapi aku tidak peduli. Papa sudah menyakiti perasaanku. Aku sudah berusaha menepati janji dengan pulang ke rumah tepat sebelum jam sepuluh malam. Akulah yang menolak Errol menciumku. Nah! Tidak cukupkah itu untuk membuat Papa percaya pada anak perempuan satu-satunya?!

"Ben!" jerit Mama di belakangku.

Aku segera memperhatikan Papa. Rupanya ia tidak lagi mengguncangkan bahuku. Lebih tepat ia berpegangan pada bahuku supaya ia tidak terjatuh di lantai ruang tamu yang keras. "Papa!" Kali ini teriakanku tidak disertai dengan amarah. Wajah Papa yang pucat membuat aku sadar bahwa aku sudah terlewat batas.

Mama segera mengambil alih tugasku. Ia meletakkan tangan kanan Papa diatas bahunya dan membawanya untuk dibaringkan di sofa ruang tamu.

"Ambil obat Papa, Kana," perintah Mama.

Aku terpaku melihat wajah Papa yang pucat dan nafasnya yang tersengal-sengal. Tangan kirinya memegang dada sebelah kirinya. Jantungnya! Nyeri jantung yang diderita Papa sudah hampir satu tahun menyerangnya lagi!

"Kana! Obat Papa!" teriak Mama menyentakkanku. "Di kamar Mama, laci kedua sebelah kiri samping tempat tidur."

Aku segera melempar tasku dan segera memaksa kakiku berlari ke kamar Mama untuk mengambil obat Papa. Bertahanlah, Papa!

*****
Aku menarik nafas lega melihat Papa sudah berbaring tenang setengah tertidur di atas tempat tidur.

"Papa tidak apa-apa kan, Ma?"

Mama menghela nafas, kemudian menatapku. "Kana, jangan pernah membuat Papa marah-marah seperti tadi. Bukankah kau tahu kalau Papa punya penyakit jantung?"

Aku tertunduk. "Maafkan Kana, Ma. Kana cuma nggak suka kalau Papa terlalu mengkhawatirkan Kana. Papa sudah bersikap tidak adil tadi."

Mama melirik Papa yang mulai pulas dan memberi isyarat padaku untuk keluar dari kamar. Aku melangkahkan kakiku keluar kamar dan mendengar Mama menutup pintu kamar perlahan. Kemudian ia memeluk bahuku dan membawaku ke ruang tengah.

Aku menghempaskan tubuhku di sofa ruang tengah, meraih remote control dan menyalakan TV.

"Apa yang membuat Papa marah tadi, Na?" tanya Mama setelah ia duduk disampingku.

Aku melemparkan remote yang kupegang ke atas sofa dan mataku menikmati kilasan berita tentang pembunuhan yang sudah menjadi kebiasaan buat stasiun-stasiun tivi untuk menyorotinya.

"Ma, kadang-kadang Kana nggak ngerti jalan pikiran Papa. Kana selalu merasa perlakuan Papa terhadap Kana nggak adil kalau dibandingkan perlakuan Papa pada Yosi dan Ale."

"Apa maksudmu tidak adil?"

Aku menatap wajah Mama yang cantik. "Mama sadar nggak kalau Papa sering melarang Kana ngelakuin ini dan itu. Waktu Kana minta motor sama Papa, supaya Papa nggak perlu antar dan jemput Kana di kampus, apa yang Papa bilang? Papa nggak kasih dengan alasan yang nggak masuk akal. Karena Kana cewek! Terus, kalau Kana mau pergi ama temen-temen Kana atau ama Errol seperti tadi, Kana nggak pernah diijinin untuk pulang lebih dari jam sepuluh malam, padahal temen-temen Kana banyak yang diijinin orang tua mereka untuk pulang malam! Coba lihat Yosi ama Ale. Mereka langganan pulang hampir jam dua belas malem, malah waktu kuliah Yosi pernah pulang jam dua pagi dengan alasan ngerjain proyek besarnya bareng temen-temen kampusnya! Gimana Kana nggak kesel?" Nafasku memburu cepat begitu kukeluarkan uneg-unegku pada Mama.

Mama cuma tersenyum simpul. "Papamu terlalu menyayangimu, Kana."

Aku mendengus. "Kana nggak ngerasain itu, Ma. Yang Kana rasain, Papa terlalu mengekang Kana. Gimana Kana mau melihat dunia luas kalau ini nggak boleh, itu nggak boleh."

"Kana nggak boleh ngomong gitu dong. Kan itu bukti kalau Papa sayang kamu? Itu bukti kalau Papa ingin melihat anak perempuannya baik-baik saja. Papa cuma ingin melindungimu kok, Na."

"Tapi Kana mulai terganggu dengan itu, Ma! Waktu masuk kuliah, Kana pernah berkata pada diri Kana sendiri kalau itu adalah waktu dimana Kana mulai belajar lebih bertanggung jawab dengan apa yang Kana lakukan dan tidak terlalu bergantung pada Papa dan Mama."

Mama lagi-lagi tersenyum. Tangannya mengelus rambutku nyaman. "Mama tahu anak Mama udah gede. Tapi, bagi orang tua, anak nggak pernah dianggap dewasa. Apalagi buat Papamu. Sekarang, balik ke pertanyaan Mama. Apa yang bikin Papa marah-marah tadi?"

Aku terdiam sejenak. "Errol mau cium Kana di depan rumah tadi, Ma. Dan Papa memergokinya."

Mama membelalakkan matanya. Dan sebelum ia mengeluarkan suara, aku sudah memotongnya. "Errol belum cium Kana, Ma. Mama tenang aja. Kana nggak akan biarkan itu terjadi, apalagi didepan rumah kita. Papa mengira kami memang berciuman. Kana kecewa Papa marah-marah. Mestinya Papa percaya dong sama anaknya sendiri kalau Kana nggak akan ngelakuin yang gituan?"

"Lalu?"

Aku tahu Mama masih kaget mendengar ceritaku tadi. Errol sialan. Ngapain juga dia mau cium-cium segala?! "Itu yang bikin Papa marah. Dikiranya Kana bohong. Kana nggak terima Papa marah-marah, karena Kana ngerasa Kana nggak bikin salah apa-apa!"

Mama masih terdiam. Seolah-olah semua kata-kata menguap lenyap di ujung lidahnya. Tapi sedetik kemudian, mulut Mama terkatup dan ketika terbuka lagi, kata-kata yang ada di ujung lidahnya sudah meluncur keluar. "Dan - Errol mencium - bagian mana - dari - wajahmu?"

Aku membelalakkan mataku. "Mama!" desisku tak percaya. Lantas aku mencium pipinya "Kana ngantuk. Selamat tidur, Ma."
*****
Aku melemparkan tasku diatas meja dan kemudian duduk diatas ranjangku. Kulihat ekspresi lelah melalui cermin di hadapanku. Sebulan sudah berlalu sejak kejadian Papa-marah-karena-mengira-Errol-menciumku. Aku masih saja tidak mengerti kekakuan Papa terhadap apa saja yang ingin dan aku lakukan. Kadangkala aku dapat menahan diri untuk tidak melawan Papa, tapi di lain waktu, perasaan untuk melawannya sangat kuat untuk dikeluarkan lewat kata-kata pedas.

Aku putus dengan Errol seminggu setelah kejadian itu. Dokter Fujimura memperingatkan kami tentang tekanan darah Papa yang meninggi. Salah siapa? Aku? Aku hanya membela diriku karena merasa tidak diperlakukan adil. Meskipun aku perempuan, aku punya harga diri dan tanggung jawab. Dan aku butuh dipercaya. Tapi, apa yang bisa kuperbuat kalau orang yang paling dekat denganku seperti Papa saja tidak mempercayai aku, bagaimana orang lain bisa? Terima kasih.

Aku mengepalkan tanganku. Aku bukan anak kecil lagi, Papa! Ingin aku berteriak kencang di kuping Papa. Tapi, bagaimana mungkin?! Oh. Kalau itu terjadi, dan tidak mungkin terjadi, maka langit akan runtuh. Ada rasa kesal yang membakar hatiku. Dan rasa itu kian membesar.

Hari ini. Salah satu hari yang melelahkan dalam hidupku. Papa kembali berulah. Dan kali ini sungguh di luar pemikiran rasionalku. Hanya berkali-kali mengeluh, bagaimana bisa Papa melakukan hal semacam itu?

Aku terpilih sebagai bendahara Pemilihan Umum untuk Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang baru. Aku begitu bangga kakak-kakak senior memberiku kesempatan untuk itu, yang berarti bahwa aku dianggap cukup bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Well, tidak mudah untuk mengatur keuangan kan? Paling tidak, butuh kejujuran dan ketelitian untuk melakukan itu. Juga kemauan yang keras. Dan kupikir, aku memiliki ketiganya. Hanya, sayangnya Papa tidak sependapat denganku.

Aku merebahkan tubuhku yang letih, sembari memberi waktu beristirahat buat hatiku yang masih diselubungi rasa kesal terhadap Papa. Dan alasan Papa yang tidak masuk akal.

"Kana, Papa tidak suka kau terlibat dalam kepanitiaan macam itu tanpa sepengetahuan Papa. Lagipula, Papa belum yakin kalau kau dapat diberi tanggung jawab sebesar itu. Menjadi bendahara adalah tugas yang sulit dan butuh kerja keras. Apa kau sanggup? Papa nggak mau kau merepotkan Papa atau Mama kalau ada masalah nantinya."

"Tapi Kana harus belajar untuk itu, Pa. Kalau Papa berpikir Kana nggak sanggup melakukan semua itu, kapan Papa tahu kalau Kana sanggup? Kana dipilih karena mereka tahu Kana dapat dipercaya. Dan Kana nggak akan merusak kepercayaan mereka!"

Papa menggelengkan kepalanya. "Kau baru saja masuk kuliah dan mencicipi semester baru di kampus. Masih banyak waktu untuk itu. Dan lagi...." Kalimat Papa menggantung. "Papa nggak mau kau jadi lebih sering di kampus daripada di rumah. Waktu Kana bersama Papa dan Mama akan berkurang."

Aku mengerang mengingat alasan Papa yang tidak masuk di akal. Sudah bertahun-tahun aku tinggal dengannya, dan sampai saat ini ia masih merampas waktuku yang seharusnya kugunakan untuk mengembangkan sayapku sebelum aku terbang lebih tinggi. Dan bagaimana aku dapat memperkuat sayapku, kalau sampai detik ini, Papa masih mengikatnya erat-erat?!

"Kana!"

Aku segera bangkit dari tempat tidurku begitu mendengar suara Ale. Tumben banget dia sudah pulang. Kulangkahkan kakiku keluar kamar dan melihat Ale sedang mengacungkan gagang telepon, sementara dari penampilannya aku tahu dia baru saja bangun dari tidurnya. Huh, aku yakin Papa tak akan marah-marah karena Ale bangun sesore ini. Kalau Papa saja tidak peduli jam berapa dia pulang tiap harinya, maka aku percaya Papa juga tidak peduli jam berapa ia bangun. Papa cuma peduli jam berapa aku pulang tiap harinya (dan lebih awal lebih baik) dan jam berapapun aku pulang, aku tetap harus bangun paling lambat pukul setengah tujuh pagi! Well, well, well.

Kuambil gagang telepon yang diacungkannya. "Enaknya jadi cowok, bisa bangun kapanpun kau mau!" desisku padanya. Ale cuma nyengir kuda dan masuk kembali ke kamarnya.

"Ya?"

Hening sejenak. "Hai, Kana," sahut suara yang disana.

"Errol!" desisku sambil menengok kanan kiri, takut-takut Papa tiba-tiba ada di dalam ruangan dan ikut menguping.

"Senang kau masih ingat suaraku."

"Ada apa?" tanyaku nyaris berbisik.

Tawa Errol terdengar di ujung sana. Tawa renyah yang selalu kusukai. "Masih ketakutan dengan Bos besar, eh?"

Aku mengatupkan mulutku. Errol masih saja tidak dapat menerima alasanku memutuskan hubungan kami atas nama Papa. "Dengar, Rol, kalau tidak ada yang penting yang ingin kau bicarakan, lebih baik tutup saja teleponnya."

Sekali lagi ia tertawa, dan tawanya menggetarkan hatiku. "Kana, tentu saja aku perlu membicarakan sesuatu denganmu! Kau kan bendaharaku?"

Aku mengerutkan keningku. "Bendahara? Bendahara apa?"

"Astaga, Sayang, bagaimana mungkin kau bisa terpilih jadi bendahara panitia Pemilihan Umum kalau kau mendadak jadi pikun seperti ini?"

Aku menaikkan alis mataku. "Kau juga ada di kepanitiaan itu?"

"Tentu saja. Tidakkah kau lihat susunan panitia yang kau terima hari ini?"

"Belum. Tapi yang kutahu, kau bukan ketua panitia. Dereck."

"Yeah, aku tahu. Dereck memang ketua umum panitia Pemilu tahun ini, tapi aku wakil ketuanya, ok?"

Kepalaku langsung berdenyut-denyut. Dan aku berjanji pada diriku sendiri, setelah kututup telepon ini, akan kuperiksa apakah si konyol ini benar-benar masuk dalam kepanitiaan itu bersama denganku atau ia hanya menggodaku saja. Dan kalau dia memang benar ada dalam kepanitiaan itu, maka aku tidak bisa berharap banyak. Cepat atau lambat Papa akan tahu kalau Errol juga terlibat dalam kepanitiaan bersama denganku. Aku sudah bisa membayangkan ending dari ini semua. Oh, ya ampun.

"Nah. Kau diam. Surprise, eh?"

"Yah, Rol. Benar-benar surprise. Terima kasih sudah memperkecil kesempatanku untuk terus terlibat dalam kepanitiaan ini."

"Maksudmu?"

"Kau tahu maksudku. Tanpa kau ikut terlibat jadi panitia pun, Papa belum mengijinkan aku ikut di dalamnya. Apalagi dengan adanya kau disana!"

Errol menghela nafas panjang. "Dengar, Kana. Ada atau tidak adanya aku, kau tidak boleh mengundurkan diri begitu saja. Kami memilihmu berdasarkan kemampuan dan kapabilitasmu. Jangan potong aku dulu. Dengar. Aku tidak peduli Papamu tahu atau tidak aku ikut dalam kepanitiaan ini, aku cuma peduli akan keberadaanmu besok pukul lima sore untuk rapat pleno pertama di ruang sekretariat BEM di lantai dua. You got it, Kana?"

"Errol! Cobalah mengerti posisiku...."

"See you." Dan ia menutup telepon di ujung sana begitu saja, meninggalkan aku sendiri dalam kebingunganku.

"Telepon dari siapa, Kana?" Suara berat milik Papa membuatku terkejut. Segera kuletakkan gagang telepon dan memaksakan diriku tersenyum pada Papa.

"Ehm, temen kampus, Pa," jawabku. Aku tidak bohong. Hei, aku tidak bohong kan? Errol sekarang cuma sekedar teman kampus bagiku. Yeah, dan sebentar lagi statusnya bakalan menjadi teman satu panitia. Ukh, bagus sekali, kalau aku bisa tetap ada dalam kepanitiaan itu.

Papa menaikkan alis matanya. Seperti kebiasaanku kalau mendengar sesuatu yang kurang menyenangkan. "Dan tentunya dia juga punya nama. Ya kan, Kana?" Matanya yang tajam menyapu wajahku.

Aku mendeham dan memberanikan diri menjawab dengan jujur. "Ya, Papa. Tentu saja, dia punya nama. Namanya Errol. Dan dia menelepon kesini bukan untuk mengajak berkencan seperti dulu, tapi untuk memberitahu Kana datang rapat pleno besok sore. Boleh kan, Pa? Terima kasih." Dan cepat-cepat kulangkahkan kakiku menuju kamarku, sementara jantungku berdegup kencang dan bibirku terasa kering.

"Kana."

Aku mendesah. Suara Papa yang berbahaya. Mengandung kelembutan yang mencurigakan. "Ya, Papa." Kuhentikan langkahku, menatap wajahnya yang sudah penuh dengan kerut-kerut tanda usianya sudah menua, bibirnya yang menunjukkan kekerasan hati, hidung yang mancung dan mata yang tajam. Kerutan di dahinya memberiku keyakinan bahwa Papa sama sekali tidak suka akan ucapanku barusan.

"Kana, kau tahu...."

"Ya, Papa, Kana tahu kalau Papa tidak suka Kana ikut dalam panitia ini."

"Dan mengapa...?"

Aku menghembuskan nafasku kesal. Ukh, aku sadar aku harus meredam emosiku yang mulai merayap naik. "Papa," potongku dengan suara yang kubuat sesabar mungkin. "Kana tidak mungkin mengundurkan diri. Kana akan dianggap tidak bertanggung jawab dan merusak kepercayaan mereka kalau Kana mundur. Mengertilah, Papa." Permohonan yang sia-sia, kata hatiku mengusik sinis. Kutatap matanya dengan pandangan yang mengumandangkan kata ‘please’. Tapi raut wajah Papa yang keras dengan sisa-sisa ketampanan yang ada semakin membuatku yakin bahwa yang kulakukan saat ini adalah sia-sia.

Papa menggelengkan kepala. "Tidak, Kana. Sekali Papa bilang tidak, berarti tidak. Papa nggak mau kuliahmu terganggu dan kau terus pulang terlambat dengan alasan rapat dan lain sebagainya. Papa tidak membiayai kuliahmu untuk membuang-buang waktumu seperti itu!"

Darahku sudah mendidih, dan kemarahanku sudah memuncak. "Kana tidak membuang-buang waktu! Kana belajar bertanggung jawab dan berorganisasi disitu. Kana nggak minta yang macam-macam. Kana cuma pengen Papa tahu kalau sudah waktunya Kana melakukan apa yang ingin Kana lakukan!"

"Sejak - kapan - kau - berani - menentang - Papa?" Nada suaranya terdengar mengerikan dan tatapan matanya kembali buas.

"Papa!"

Aku dan Papa sama-sama menoleh dan melihat Ale berjalan menghampiri kami dengan gayanya yang santai, seolah-olah bukan dia yang memanggil Papa.

"Tidak usah ikut campur, Ale," kata Papa tajam sambil mengibaskan tangannya. "Papa tidak pernah ikut campur urusanmu dengan bandmu, jadi Papa minta kau tidak ikut campur urusan Papa dengan Kana."

Ale menggaruk-garukkan kepala. "Pa, mungkin kali ini Papa harus ikut campur urusan Ale, biar saat ini Ale bisa ikut campur urusan Papa."

"Tidak," sahut Papa keras. "Dulu kau tidak pernah mendengarkan kata-kata Papa saat kau dan bandmu itu luntang-lantung tak keruan dari café ke café. Sekarang kau berani bilang kalau Papa harus ikut campur urusanmu? Urusan apa lagi?"

Ale menatap Papa dan aku berganti-ganti, kemudian mengangkat bahunya. "Yah, kalau begitu terserah Papa. Asal Papa tahu saja, band Ale sudah masuk studio rekaman sejak dua bulan yang lalu, dan bulan depan, video klip kami akan muncul di televisi. Dan...." Ale berhenti sebentar sambil nyengir. "cuma mau ingetin kalau Papa punya sakit jantung dan Ale dan Kana tidak menghendaki penyakit Papa itu kumat karena kekeras-kepalaan Papa." Ale membalikkan badannya dan kembali masuk kamarnya. Sedetik kemudian terdengar musik rock di kamarnya.

Goodness. Ale. Kakakku yang tidak peduli biarpun ada bom meletus di sebelah rumah - atau kupikir tidak peduli ternyata memikirkan aku dan keadaan Papa. Dan sungguh, harus kupikirkan sesuatu untuk diberikan padanya sebagai ucapan terima kasihku karena sudah menyelamatkan aku dari keadaan yang tidak enak ini.

Aku meringis pada Papa. Emosi yang tadi sempat meluap sudah hilang. "Kana mau pipis, Pa." Lalu aku segera menghambur masuk kamar mandi sebelum Papa sempat mengatakan apapun.

Ale! Aku sayang kamu!
*****
Sudah hampir satu setengah bulan sejak pertengkaran terakhirku dengan Papa. Video klip Ale sudah muncul di televisi dan tiap hari selalu ada telepon nyasar dari cewek-cewek yang mencari Ale sampai Mama dan Bi Inah kewalahan menerima telepon mereka. Aku sudah membelikan Ale kemeja keren, yang aku yakin tidak pernah terpikirkan dalam benak Ale untuk membeli kemeja macam itu selain t-shirt oblong yang sudah memenuhi lemari pakaiannya. Dan aku senang melihat Ale melongo setelah kemeja itu ada di tangannya.

"Supaya kau bisa tampil rapi saat diwawancara di tivi karena albummu sudah meledak di pasaran," ujarku waktu itu sambil mengecup pipinya.

Aku sendiri berusaha menepati janjiku pada Papa untuk tidak pulang terlalu malam saat rapat-rapat berlangsung dan tetap mengutamakan kuliahku. Aku sangat berterima kasih pada Errol kali ini yang mau membujuk Dereck, sang ketua untuk tidak mengadakan rapat tiap hari. Paling tidak, cukup dua kali dalam seminggu aku pulang sebelum jam sembilan malam. Papa selalu mengomel dan mengancam tidak akan membukakan pintu jika tetap pulang di jam-jam segitu, tapi dia tetap menunggu sampai aku pulang, sehingga aku yakin ia tidak akan melaksanakan ancamannya. Papa terlalu menyayangiku. Ehm!

Hanya satu masalahku. Errol. Kami menjadi dekat kembali setelah terlibat dalam satu kepanitiaan bersama. Rapat menjadi sesuatu yang menyenangkan bagiku, karena aku mendapat teman-teman baru, pengalaman yang aku yakin takkan kudapat seandainya waktu itu Papa berhasil menyuruhku mundur, dan juga pesona Errol. Uhm. Ketika aku dan dia pacaran, aku belum sempat melihat pesonanya. Usia hubungan kami masih tiga minggu ketika kuputuskan dia atas nama Papa. Well¸ harus kuakui dia memang menarik. Bahkan anting di telinganya yang sempat membuat masalah antara aku dan Papa pun membuat dia tampak semakin menarik. Dan baru sekarang aku tahu kalau kepemimpinannya hebat. Dereck juga hebat, tapi di mataku Errol lebih mempesona. Yang lebih membuatku cemas adalah tawa renyahnya yang masih saja menggetarkan hatiku dan tatapan matanya yang selalu lembut menyelami kedalaman mataku. Dia selalu tahu masalah yang kuhadapi sebagai bendahara. Ketika dana dari bagian keuangan universitas tidak kunjung cair, Errol-lah yang membantuku menemui ibu di bagian keuangan untuk mengurus semuanya itu hingga selesai.

Hanya saja, aku agak kecewa karena Errol tak pernah mau mengantarku pulang. Entah kenapa. Teman-teman satu panitia bergantian mengantarku pulang, dan baru-baru ini aku tahu kalau Errol-lah yang selalu mengusahakan supaya ada teman cewek yang menemaniku sampai di depan rumah. Aku mengerti betul maksudnya. Tapi aku tidak mengerti mengapa ia tidak mau mengantarku pulang.

"Thanks, Rol," kataku di sela-sela waktu istirahat dalam rapat.

Errol mengerutkan kening sambil terus membaca berkas yang diajukan divisi acara. "Untuk?"

"Untuk semua yang kaulakukan untuk membantuku. Renata baru saja memberitahuku kalau kaulah yang mengusahakan supaya selalu ada teman cewek yang mengantarku pulang disamping teman cowok."

Errol tertawa kecil, dan meletakkan berkas yang dibaca dihadapannya. (Ya ampun, Rol, jangan tertawa seperti itu lagi dihadapanku. Kau tidak tahu kalau jantungku bisa meledak mendengar tawamu yang seperti itu.) "Itu kewajiban cowok, kau tahu itu?"

Aku menaikkan alisku tanda bahwa aku menemukan hal yang kurang mengenakkan. "Jadi, cewek tidak bisa melakukannya, begitu? - Tidak, terima kasih, Den, aku masih kenyang."

Sekali lagi Errol tertawa sambil mencomot roti isi daging yang baru saja Dena tawarkan padaku. Lebih keras dari sebelumnya, dan tentu saja itu membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Kau dan kecemburuanmu terhadap cowok. Kau memang belum berubah. Dan aku suka itu. Dengar, Non. Pria dan wanita memiliki kewajiban mereka masing-masing. Kewajiban pria adalah melindungi wanita karena wanita membutuhkannya, dan ketika ia melakukan hal itu, yang harus wanita lakukan cuma memberikan ucapan terima kasih dengan senyum tulus karena itu sudah merupakan penghargaan tertinggi bagi pria."

Aku terpana mendengar filosofinya. "Kalau begitu, aku sudah memberikan penghargaanku tadi padamu, begitu?"

Tawa renyah Errol kembali terdengar. (Sudah kubilang jangan tertawa seperti itu! Aku takut lama-lama aku tidak dapat mengendalikan diriku! Please.) "Begitu. You're welcome."

"Rol.... Oya, ambil saja kertas itu. Masih kosong, Gon." Aku menyerahkan kertas yang diminta Gondo. "Nah, Rol, tapi mengapa kau tidak pernah mau mengantarku pulang?"

Kali ini Errol yang menaikkan alis matanya, dan sebelum ia menjawab pertanyaanku, Dereck sudah memberi isyarat untuk menyudahi percakapan kami karena rapat akan segera dimulai kembali.

Errol mengangkat bahunya, dan aku kembali menyimpan pertanyaan itu dalam hatiku.
*****
Semua berjalan lancar akhir-akhir ini. Entah mengapa, Papa tak pernah protes ketika suatu waktu aku pulang hampir pukul sepuluh malam setelah rapat karena diajak Dena untuk ikut merayakan ulang tahunnya di salah satu café terkenal di kotaku. Papa cuma menegur singkat, membuatku heran bercampur senang. Heran karena sikap Papa yang tidak seperti biasanya, dan senang karena aku terhindar dari amarah Papa yang meledak-ledak.

Dua minggu lagi Pemilu itu berlangsung. Aku tak menyangka aku akan sesibuk ini. Ditambah lagi dengan ujian tengah semester yang sudah di ambang pintu. Pun demikian, aku masih berusaha sekuat tenaga untuk tidak pulang terlalu malam, dan tetap belajar meskipun tubuhku sudah berteriak-teriak kecapekan. Rapat-rapat yang berlangsung dan tugas-tugas kuliah yang menumpuk sudah menyita habis tenaga dan pikiranku, sehingga aku selalu tiba di rumah dalam keadaan yang tidak menyenangkan untuk diajak mengobrol oleh Papa atau Mama.

Hari ini, rapat pleno yang harus kuhadiri sampai selesai terpaksa kutinggalkan ketika Yosi tiba-tiba menjemputku. Ia meminta ijin ditengah-tengah rapat untuk bertemu denganku. Melihat dari penampilannya, aku tahu dia baru pulang dari kantornya.

Aku menaikkan alis mataku karena tidak suka dianggap sebagai pengganggu rapat, tapi aku tetap keluar dari ruangan rapat setelah Dereck mengijinkan aku untuk menemui Yosi.

"Ada apa, Yos?" tanyaku perlahan setengah jengkel sambil menutup pintu di belakangku. "Kau tahu kan kalau...."

Yosi mengibaskan tangannya menyuruhku diam, lalu membetulkan letak kacamatanya. "Kau harus pulang sekarang, Na. Papa masuk rumah sakit."

Aku membelalakkan mataku. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. "Papa kenapa?"

"Kau dengar aku," jawabnya tak sabar. "Papa masuk rumah sakit, dan Mama memintaku untuk menjemputmu."

"T-tapi...."

"Tidak ada tapi. Cepat ambil tasmu dan minta ijin pada mereka supaya kau bisa pulang."

Setengah tak sadar aku masuk kembali ke ruang rapat dan meminta ijin pada Dereck untuk pulang setelah kujelaskan alasannya.

Papa! Tunggu Kana!
*****
"Apa yang terjadi, Mama?" tanyaku dengan nafas tersengal-sengal karena berlari sepanjang koridor rumah sakit begitu tiba dan melihat Mama duduk sendirian sambil membaca majalah.

Mama mendongakkan kepala dan menyunggingkan senyum lelah. "Jantung Papa kumat lagi. Tadi sore setelah pulang kantor. Mama langsung menyarankan untuk pergi ke rumah dokter Fujimura karena beberapa malam terakhir ini ia sering bangun tengah malam dan mengeluh dada kirinya sakit, tapi kau tahu Papamu. Ia bersikeras mengatakan bahwa ia tidak apa-apa."

"Lalu?" kejarku tak sabar begitu Mama berhenti bercerita.

Mama menghembuskan nafas. "Mama berhasil memaksa Papa untuk segera check-up ke rumah sakit tadi sore begitu jantungnya kumat lagi. Dokter Fujimura lantas menyarankan Papa untuk tinggal di ruang ICU beberapa hari."

Aku terdiam beberapa saat. "Tapi, Papa tidak apa-apa kan, Ma?"

Mama menggelengkan kepalanya. "Sejauh ini, dokter belum mengatakan apa-apa. Ia cuma terus-menerus menyarankan Mama supaya Papa segera dioperasi sebelum terjadi penyumbatan yang lebih banyak lagi."

"Papa tidak mau," sela Yosi menggerutu sambil membetulkan kembali kacamatanya. "Ya kan, Ma? Benar-benar Papa."

"Mana Ale, Ma?" tanyaku begitu sadar bahwa Mama cuma sendirian di ruang tunggu untuk para penunggu pasien ICU waktu kami tiba.

"Sebentar lagi mungkin dia datang. Dia yang akan jaga malam ini."

Aku menarik nafas lega begitu tahu bahwa keadaan Papa tidak seburuk yang kukira. "Kita doain sama-sama ya, Ma?"

Mama cuma mengangguk.
*****
Hampir seminggu Papa ada di ruang ICU. Masih belum jelas kapan dokter mengijinkan ia keluar dari rumah sakit, sementara yang kutahu Papa harus tetap di ruangan ICU karena tekanan darahnya yang terus turun. Mama bilang Papa tidak kerasan di ruangan ICU. Ia tidak betah dengan segala peralatan rumah sakit yang menancap di tubuhnya. Aku sendiri cuma bisa melihat Papa dari jendela ruang ICU yang menghubungkan ruang dalam ICU dan ruang tunggunya sambil menyunggingkan senyum untuk menenangkan dirinya. Waktu kecil, Papa sering mengatakan senyumku seperti senyum malaikat yang menentramkan hati, dan kupikir tak ada salahnya kutentramkan hatinya dengan memberikan seulas senyumku padanya.

Bergantian Yosi dan Ale menjaga Papa di malam hari. Kadang-kadang aku menemani mereka, dan di siang hari Mama menjaga Papa sepanjang hari. Aku tahu ia letih, tapi ia tidak memperlihatkannya. Ia selalu menenangkan kami bahwa keadaan Papa baik-baik saja.

Di minggu kedua Papa di rumah sakit, aku mulai jarang mengunjunginya. Pemilu yang akan dilangsungkan benar-benar membuatku sibuk dan ujian yang sudah dimulai menyita sisa-sisa waktu yang ada sehingga kekhawatiranku terhadap Papa mulai berkurang. Aku menganggap Papa cuma butuh beristirahat dan ia akan baik-baik saja. Tiap kali aku sempat, aku pergi ke rumah sakit mengunjungi Papa, meskipun sering, tiap kali aku datang Papa sedang tertidur atau sedang diberi obat dan tatkala waktu memberi obat selesai aku harus segera pergi lagi ke kampus mengurus tetek-bengek pemilu yang hampir berlangsung. Errol bahkan menyempatkan diri untuk menemaniku menengok Papa meskipun ia tidak memperlihatkan dirinya pada Papa. Aku tahu sebabnya. Mama sempat mengatakan bahwa Papa kangen mengobrol denganku dan terus-menerus menanyakan mengapa aku jarang datang berkunjung.

Aku cuma tersenyum simpul. "Kalau Papa keluar dari rumah sakit kan, kita bisa ngobrol banyak, Ma," jawabku. "Kana balik ke kampus dulu ya."

Tiga hari menjelang pemilu, Papa sudah dipindahkan ke kamar. Kata dokter, tekanan darahnya sudah mulai stabil dan karena itu ia mengijinkan Papa keluar dari ruang ICU. Ditambah permintaan Papa yang ingin segera keluar dari ruang ICU. Sekali lagi aku terpaksa minta ijin Mama untuk absen menjenguk Papa di hari ia dipindahkan ke kamar dan berjanji akan datang menjenguknya keesokan harinya.

Aku berusaha menepati janjiku esoknya meskipun itu sulit. Ujian hari itu cukup berat dan Dereck berpesan padaku untuk berada di tempat-tempat yang mudah dihubungi sehingga jika diperlukan aku dapat segera dijangkau. Di sela-sela waktu yang ada, aku menyempatkan diri untuk lari ke rumah sakit.

Papa sedang makan buah ketika aku tiba. Yosi tengah membaca buku setebal kacamatanya sementara Mama memotong-motongkan buah untuk Papa.

"Hai, Papa!" sapaku hangat.

Papa menatapku sekilas. "Kemana saja kamu akhir-akhir ini?" tanyanya tajam.

Aku meringis. "Kana ujian, Pa. Ditambah lagi pemilu ketua BEM kampus akan dilaksanakan dua hari lagi," jawabku sambil mencomot buah yang sedang dipotong Mama.

"Begitu sibuknya sampai nggak sempat tengok Papa, ya kan, Kana?" sindir Papa. "Papa sudah bilang kalau kegiatan itu hanya buang-buang waktu saja...."

Rasa capek yang melanda tubuhku plus omelan Papa yang menyinggung kembali masalah kami sebelum aku memutuskan untuk tetap ikut dalam kepanitiaan itu malah membuatku kesal. Jauh-jauh dari kampus menyempatkan diri untuk datang, yang ditengok malah marah-marah.

Aku mencerucutkan mulutku. "Kana tidak buang-buang waktu, Pa. Kana menikmatinya kok...."

"Papa dengar dari Tante Sherly, kau pernah menengok Papa dengan seorang laki-laki yang memakai anting...."

"Ben," tegur Mama lembut. "Errol cuma mengantar Kana. Kau tidak perlu marah-marah."

Papa mendengus kesal tanpa menghiraukan kata-kata Mama. "Papa sudah bilang kan, Kana...?"

"Papa, baiklah. Kana tidak akan datang dengan Errol lagi kalau memang Papa tidak suka. Tapi sekarang Papa harus istirahat. Ya? Kana harus buru-buru balik ke kampus, nih. Daa, Mama. Yosi!" Aku mengacak-acak rambutnya dan senang mendengar ia menggerutu panjang pendek. Tanpa menoleh lagi pada Papa aku langsung menghambur keluar kamar dan menghembuskan nafas lega karena tidak perlu bertengkar dengan lelaki yang sedang menjalani perawatan itu.
*****
Sehari sebelum pemilu benar-benar membuatku sibuk, sehingga aku lupa kalau hari itu aku belum menjenguk Papa di rumah sakit. Sore hari, ketika aku sedang membantu divisi acara menyiapkan segala sesuatunya, Errol menarik lenganku dan memberi isyarat untuk ikut dengannya.

"Apa, sih, Rol?" tanyaku sambil mengibaskan tangannya yang dengan kuat mencekal lenganku. "Sakit, Rol!"

Errol menghentikan langkahnya. "Kau harus segera ke rumah sakit, Na. Papamu dalam kondisi kritis!"

Jantungku seakan berhenti berdetak. Ada secercah perasaan tak enak menyelubungiku. Rasa percaya tak percaya membuatku menarik baju Errol. "Kau bohong kan, Rol? Kau main-main kan? Darimana kau tahu?"

Errol mengguncangkan bahuku. "Kana, aku tidak main-main!" Ia mengacungkan ponselnya. "Ale baru saja meneleponku. Aku akan minta ijin Dereck untuk mengantarmu ke rumah sakit sekarang."

Belum sempat aku menanggapinya, dia sudah melesat pergi menemui Dereck - meninggalkanku termangu. Papa. Papa! Papa dalam kondisi kritis! Sebelum pikiranku melayang lebih jauh lagi, Errol sudah menarikku menuju mobilnya dan membawaku ke rumah sakit.

Setengah berlari aku menuju kamar tempat Papa dirawat. Sudah ada Mama yang menangis, Yosi yang sibuk menenangkan Mama dan Ale yang terpekur bersandar pada dinding rumah sakit. Para perawat sudah sibuk dengan alat-alat mereka dan menempelkan kabel-kabel itu ke tubuh Papa. Waktu seakan berlari kencang disekitar kami tanpa bisa kami hentikan. Orang-orang yang lalu lalang disekitar kami tidak bisa dicegah untuk menonton adegan menegangkan dalam kamar Papa dengan para perawat yang berusaha sekuat tenaga menolong Papa. Mungkin bagi mereka, itu merupakan selingan yang menghibur mereka di rumah sakit.

"Papa!" Aku segera menghambur ke dalam kamar, tapi seorang perawat mencegah aku masuk. Kemudian aku memalingkan wajahku pada Yosi. Belum pernah aku melihat wajah kakakku yang biasanya tenang itu begitu pucat.

"Yos! Apa yang terjadi dengan Papa?" tanyaku panik. Dadaku berdentam-dentam dengan cepat, menyiksaku.

Yosi menghela nafas panjang. "Tadi sore jantung Papa kumat lagi. Tekanan darahnya turun drastis, dan... ."

"Tapi dia tidak apa-apa kan, Yos?" desakku. Kuguncang-guncangkan bahunya. "Yos, katakan padaku bahwa ia tidak apa-apa dan ia akan sembuh. Yos! Kau dengar aku? Yos!"

Tapi Yosi cuma diam sambil memeluk bahu Mama yang masih menangis sementara kurasakan diriku limbung sebelum Errol menangkap tubuhku. Aku mengibaskan tangannya dan beralih pada Ale. "Le! Papa tidak apa-apa kan? Le!" Aku menarik-narik lengannya kalut. Kebingungan dan ketakutan sudah menyelimutiku. Membuat tubuhku gemetar tak keruan sementara Ale tetap membisu.

Seorang perawat keluar dari kamar dan setengah berteriak, "Keluarga bapak Benyamin!"

Mama, Yosi, Ale dan aku segera menghambur masuk. Air mata sudah menggenang di ujung mata, tapi aku berkata pada diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, meskipun kata hatiku berkata sebaliknya.

Dan disitulah kami. Berdiri disamping tempat tidur Papa melihat tubuh Papa ditancapi alat-alat untuk membantunya bertahan hidup. Bertahan hidup! Disitulah, kami menggenggam satu harapan dan meniupkan satu permohonan pada Yang Di Atas. Papa. Cuma Papa. Tolonglah. Tuhan, aku tidak ingin kehilangan Papa. Aku tidak mau Papa pergi dari sisiku. Aku masih butuh dia. Tolonglah, Tuhan. Aku janji akan bersikap lebih baik lagi padanya kalau Kau mau menyembuhkannya. Tuhan, tolonglah. Aku cuma ingin Papa. Cuma Papa!

Saat kubuka mataku, aku melihat mata Papa sudah terbuka. Begitu sayu. Sungguh berbeda dengan Papa yang kukenal selama ini.

"Papa," desisku, sementara Mama menggenggam tangannya dan air matanya masih mengalir. "Papa akan sembuh kan?"

Sudut mata Papa berganti-ganti melihat Mama, aku, Yosi dan Ale. Ia bahkan sempat memberi isyarat pada seorang perawat untuk membuka alat pernafasan yang menutupi mulutnya. Dan terbata-bata, ia cuma mengucapkan satu kalimat disertai rintihan. Sebuah perintah, seperti kebiasaan Papa. Ditujukan padaku.

"Tersenyumlah, Kana, karena senyummu bisa menentramkan hati Papa."

Dan selesai sudah. Nafas Papa terhenti dan matanya sudah terpejam sebelum aku sempat memberikan senyum terakhirku untuknya. Papa! Papa! Kana sayang Papa! Jangan pergi! Jangan pergi, Papa! Maafkan Kana!
*****
Aku menaburkan segenggam bunga terakhir diatas pusara Papa. Orang-orang yang melayat sudah datang dan pergi. Bahkan orang-orang dari pertelevisian pun turut mengucapkan belasungkawa atas kepergian Papa meskipun aku tahu dengan meliput momen-momen semacam ini hanya salah satu cara bagi mereka untuk mencari uang. Album Ale dan bandnya yang meledak menjadi alasan untuk itu. Mereka memang tidak sempat mewawancarai kami dan kami sangat menghargainya. Dan sekarang, kami sudah mengantar kepergian Papa bertemu dengan Tuhan diatas. Mama sudah tidak menangis lagi, meskipun ia tidak banyak berbicara. Aku membiarkan Kakek dan Nenek yang langsung datang begitu tahu Papa meninggal sibuk menerima uluran ucapan belasungkawa dari tamu-tamu yang datang. Yosi sibuk mengurus segala macam tentang pemakaman Papa.

Aku menghampiri Ale yang duduk termenung sendirian di bawah pohon. Satu-satunya pohon yang tumbuh di dekat kubur Papa. Mendung diatasku semakin membuat hatiku serasa dingin dan beku. Angin cukup kencang menghembus, seakan ingin menyapu kesedihan kami. Bahkan ucapan dukacita yang dikumandangkan oleh orang-orang untuk tetap tabah kuanggap sebagai kata-kata wajib yang memang harus dikeluarkan saat pemakaman. Aku tidak percaya mereka juga turut merasakan rasa kehilangan kami yang besar terhadap Papa. Mereka cuma bisa bicara. Kami yang merasakannya.

"Le, dimana Papa sekarang ya?" tanyaku perlahan.

Ale tidak menjawab. Dia malah meniup seruling yang ia bawa dan bunyinya membuatku menggigil. Nada-nada sendu milik Ale yang mewakili kepedihan kami atas kepergian Papa.

"Selama ini aku tidak pernah mengerti Papa. Bagiku Papa orang yang kaku. Keras. Seorang diktator. Dan seringkali ingin kuucapkan kata benci padanya. Aku sering menyulut pertengkaran dengan Papa, tanpa peduli bagaimana perasaan Papa. Aku selalu berpikir seandainya aku tidak punya Papa yang seperti itu, semuanya tentu akan lebih baik."

Ale masih saja meniup serulingnya. Dan bunyinya yang pilu menggema diseluruh dasar hatiku. Memantulkan kesedihan yang mendalam. Dan rasa sepi yang amat sangat.

"Tapi aku salah, Le. Baru kusadari, lebih baik aku punya Papa yang seperti itu daripada kehilangan seorang Papa yang selalu melindungi aku seperti apapun caranya melindungi aku. Tapi, penyesalan selalu datang terlambat kan? Aku menyesal kenapa aku selalu bertengkar dengan Papa. Aku menyesal kenapa aku tidak pernah peduli dengan perasaan Papa, tapi lebih peduli dengan perasaanku. Aku menyesal belum memberikan sesuatu yang membuat Papa bangga terhadapku. Aku bahkan tidak menemaninya di hari-hari terakhirnya di rumah sakit! Aku ingin Papa kembali supaya aku dapat mengatakan padanya bahwa aku menyayanginya!"

Ale berhenti meniup serulingnya. Keheningan yang tiba-tiba menyeruak malahan membuat tangisku kembali meledak. Segumpal perasaan bersalah bercampur penyesalan terasa begitu sesak memenuhi ruang hatiku. Papa tidak akan kembali. Ia sudah pergi, dan mulai besok, sudah tidak ada Papa yang mengantar dan menjemput aku dari kampus. Tidak ada Papa yang mengomel karena aku bangun kesiangan dan pulang terlalu malam. Tidak ada Papa yang menunggu di balik pintu malam-malam dimana aku pulang terlambat. Tidak ada Papa yang mengacak-acak rambutku ketika aku berhasil melakukan sesuatu yang membuat Papa gembira. Dan tak ada lagi Papa yang mengatakan senyumku seperti senyum malaikat. Manusia memang tidak pernah berubah. Ia baru menyadari orang yang dekat dengannya itu begitu berharga ketika orang itu sudah pergi. Yang menunjukkan bahwa aku sempurna sebagai manusia.

Ale memeluk bahuku. "Aku pernah membaca," katanya perlahan, "tentang matahari. Kau tahu mengapa matahari harus terbenam?"

Aku cuma diam disela-sela isak tangisku.

"Supaya keesokan harinya, matahari itu bisa terbit kembali, memberikan cahayanya pada tiap kehidupan di bumi ini."

Aku terisak. Ya, Le. Kau benar. Saat ini mungkin matahari kita harus tertutup awan-awan hitam itu untuk kemudian terbenam di kala senja. Tapi besok, matahari itu akan terbit lagi. Dan kita masih harus meneruskan kehidupan kita. Aku menatap pusara Papa, dan aku memutuskan bahwa yang ada dihadapanku ini cuma tanah segar yang benar-benar tanah dengan seonggok kenangan yang tersisa. Aku lebih suka mengubur Papa yang pergi di relung hatiku, karena dia akan selamanya tinggal disana - utuh dan tak berubah. Menemani langkah kehidupanku selanjutnya.

Selamat jalan, Papa. Dan terima kasih sudah meninggalkan jejak-jejak jiwa didalam hidupku.


December 5, 2003

Dedicated to Julistiono's family and my dad.
For Dad, whatever you are and whatever you do, you're the best father I have.

baca lanjutannya...

Sunday, March 15, 2009

sepenggal cerita tentang cinta

Aku menutup telingaku rapat-rapat. Teriakan-teriakan itu terdengar lagi. Bercampur dengan isak tangis dan bentakan-bentakan. Tak ada yang lebih buruk lagi dari malam ini. Malam yang mungkin akan merubah hidupku. Aku cuma bisa diam dalam kamar, sambil menghitung tetes demi tetes air mataku yang mengalir turun mengiringi teriakan-teriakan itu. Tiap malam aku mendengarnya. Dan luka itu semakin menganga - robek oleh pisau cinta yang mereka tawarkan beberapa waktu silam.

Kepalaku berdenyut-denyut. Telingaku berdenging. Mataku panas. Dan mulutku gatal mengucapkan sumpah-serapah yang biasa kudengar di kalangan orang-orang yang tak berpendidikan macam tukang becak dan pemuda-pemuda pengangguran yang nongkrong di pinggir jalan sambil menikmati teriknya matahari jam dua belas siang.

Tanpa kusadari kakiku melangkah ke ruang tengah. Pemandangan menyakitkan itu membuat luka di hatiku kian menganga. Aku sendiri tidak yakin apakah luka itu akan sembuh seperti sediakala.

"Papa!" Aku berjongkok dan melihat darah di kening wanita yang melahirkan aku dan menyekanya dengan tanganku. "Apa yang Papa lakukan?"

Pria di hadapanku yang selalu mengajarkanku arti kasih sayang dan kelemah lembutan itu menggeram. "Tanyalah Mamamu apa yang telah ia perbuat! Kalau dia pikir Papa dapat memaafkan Mamamu atas perselingkuhannya dengan Om Jerry, langkahi dulu mayat Papa!"

"Aku tidak selingkuh jika itu yang kau pikir! Semuanya itu bisa aku jelaskan asal kau beri aku kesempatan!"

Orang yang biasa kupanggil Papa itu cuma tersenyum sinis. "Dua tahun kau menipuku. Tak ada lelaki yang sesabar aku untuk menanti istrinya berkata jujur padanya!"

"Papa!" Aku menahan tangannya yang sudah akan menampar Mama. "Tidak adakah lagi rasa cinta di hati Papa terhadap Mama sampai-sampai Papa tega menyakiti Mama? Secuil pun tidak ada?"

Papa tertawa. Giris. Dan memilukan. Seperti mendengar Lucifer tertawa karena manusia-manusia yang jatuh dalam pelukannya semakin bertambah.

"Cinta? Papa menyesal pernah mencintainya! Papa ajarkan padamu, Re, jangan pernah memberikan seluruh cintamu kepada seseorang atau kau akan merasakan betapa sakitnya engkau saat cinta itu mulai berpaling!"

Bunyi logam yang terjatuh di lantai memaksaku memalingkan wajahku dari Papa. Aku cuma bisa terpana melihat Mama bersimbah darah dengan pisau tertancap di perutnya. Semuanya mendadak gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Yang kuingat cuma satu, yaitu ajaran terakhir Papa padaku soal cinta!

* * * * *
Aku terjaga dari tidurku. Semilir angin menerobos masuk lewat celah-celah jendela kamarku. Kejadian dua tahun yang lalu itu mengusikku lagi. Begitu jelas dan masih segar dalam ingatanku urut-urutan kejadian itu, tidak seperti video lama yang rusak karena berulang kali diputar oleh pemiliknya.

Tidak ada air mata keluar. Air mataku sudah habis. Mungkin aku bisa dibilang manusia tanpa jiwa. Aku setuju dengan pendapat itu. Karena bagiku jiwaku sudah mati tatkala Mama menancapkan pisau itu di perutnya sendiri - dua tahun yang lalu.

Aku ini binatang jalang, yang dari kumpulannya terbuang. Puisi ‘Aku’ milik Chairil Anwar itu tiba-tiba terlintas dalam benakku. Dan aku tersenyum pahit. Kalau masih ada manusia yang bisa disebut binatang jalang, maka akulah yang paling pantas mendapat sebutan itu. Papa sudah membuangku. Kakek dan Nenek tidak pernah menganggapku ada lagi. Aku sudah dicampakkan. Hampir dua tahun sejak kejadian itu, aku tidak pernah bertemu Papa. Aku tak tahu kemana dia pergi. Dan aku memang tidak begitu peduli. Jika aku mendengar ia sudah mati pun mungkin aku akan bersorak gembira seperti para bintang film Hollywood yang menerima piala Oscar sekaligus menangis sedih seperti anak manja yang kehilangan kucing kesayangannya. Aku cuma butuh uangnya. Paling tidak - sampai aku lulus dan tidak bergantung pada siapapun. Dan karena uangnya masih mengalir dalam kantungku, aku pun tahu bahwa lelaki itu masih hidup. Entah dimana.

Aku bangkit dari tempat tidurku. Kulirik jam weker di samping tempat tidurku. Pukul lima lebih dua puluh empat menit. Sayup-sayup terdengar suara tukang sayur yang memulai pekerjaannya di luar rumahnya. Disusul gonggongan anjing tetangga sebelah yang sedang bermain-main dengan tuannya. Kemudian terdengar debat tawar-menawar antara tukang sayur itu dengan pembantu tetangga depan rumah. Sesuatu yang hanya membuang-buang waktu saja, menurutku. Tukang sayur itu pasti punya cukup alasan untuk menaikkan harganya sampai setinggi langit. Buat apa orang-orang merepotkan diri mereka sendiri hanya untuk selisih harga yang tak seberapa?

Aku menegak susu coklat yang sudah disediakan oleh Mbok Min di atas meja makan ketika aku mendengar bunyi bel pintu. Sambil merapikan penampilanku (karena aku enggan bertemu orang dalam keadaan berantakan), aku menuju ruang tamu sambil mengintip dari jendela. Seorang laki-laki. Muda. Ia menanti di depan pintu pagar untuk dibukakan.

Sejenak aku terpaku. Ada dorongan yang maha kuat di dalam diriku untuk membukakan pintu pagar itu. Padahal, aku tidak pernah mau membukakan orang asing di rumahku ini. Orang asing urusan Mbok Min. Dan selama ini Mbok Min tidak pernah kesulitan menghadapi orang-orang asing yang datang dan pergi.

Tanpa sadar kulangkahkan kakiku sambil bertanya-tanya siapa gerangan pemuda itu.

"Selamat pagi, Nona. Bisa menganggu sebentar?" sapa pemuda itu hangat. Senyumnya memberikan setitik kesejukan di hatiku.

Aku mengangkat alisku. "Ada apa?"

Pemuda itu tertawa - meninggalkan debaran aneh dalam jantungku. "Begitukah selalu sapaanmu pada setiap orang? Pantas anak kecil itu begitu takut padamu sampai-sampai tidak berani meminta bolanya yang terjatuh di halaman rumahmu."

Aku memandang pemuda itu dingin. Siapa dia sebenarnya? Apa haknya mengatakan hal seperti itu padaku? Pernah melihat wajahnya pun tidak!

"Begitu," sahutku dingin. "Akan kusuruh pembantu untuk mengambilkannya untukmu." Tanpa mempedulikan pemuda itu lagi, aku membalikkan badanku dan merutuki diriku sendiri karena aku masih ingin mengobrol dengannya.

"Hei! Tidak bisakah kau bukakan pagar sialan ini? Mungkin pagar inilah yang memisahkanmu dengan manusia-manusia lainnya!"

Langkahku terhenti. "Memang begitu maksudku."
* * * * *
Bisikan-bisikan itu terdengar lagi. Suara orang-orang yang memiliki sedikit waktu untuk bekerja dan banyak waktu untuk bergosip. Aku sudah kebal dengan itu semua. Aku tokh sampai detik ini dapat hidup tanpa mereka. Tak ada gunanya berteman dengan penggosip-penggosip macam itu. Aku sudah tahu apa yang mereka gosipkan. Mendengar apa yang mereka bicarakan. Dan kenyang dengan hinaan mereka. Asalkan mereka tidak menyentuh kulitku, akan kubiarkan mereka berbuat semau mereka.

"Rupanya kau sudah terbiasa dengan hal semacam itu?"

Aku menoleh ke arah suara yang dengan berani menyapa dekat telingaku. "Kau!"

Pemuda itu tersenyum. Dan sekali lagi menitikkan kesejukan dalam hatiku. "Aku senang kau masih mengingatku. Kita belum kenalan." Ia mengulurkan tangannya.

Aku melirik sekilas tangannya yang kekar. "Haruskah aku mengulurkan tanganku juga?"

Sembur tawa keluar dari mulutnya. "Untuk bergandengan tangan, diperlukan dua tangan atau lebih. Begitu juga persahabatan. Terjalin erat jika dua orang atau lebih menyatukan hati mereka."

Mulutku terkunci. Tapi telingaku tidak. Terdengar asing kata persahabatan itu. Sejenis makanan kah? Atau semacam filsafat kehidupan yang biasa menjadi topik ceramah di televisi dan radio yang bagiku merupakan kemunafikan?

Suara tawa mesra di belakangku membuatku menoleh. Sebuah pemandangan yang mengiris jiwaku ada di depan mataku. Si laki-laki membisikkan racun manis di telinga si perempuan dan perempuan itu menghisapnya begitu saja. Tangan yang melingkar di pinggangnya itu mungkin akan melingkar di pinggang perempuan lain di suatu waktu. Tak ada yang tahu. Tak ada yang kekal, bukan di dunia ini?

"Kelihatannya kau jijik dengan yang namanya cinta dan persahabatan. Mungkin bahkan kau tak tahu arti dua kata tersebut. Tidak heran mulutmu lebih senang tertutup daripada mengumbar kata-kata."

Aku tertegun mendengar kata-kata pemuda itu. Menghunjam dalam di hatiku.

"Setahun yang lalu ada seorang laki-laki membuat seribu burung dari kertas untuk satu-satunya perempuan yang ia cintai karena perempuan itu menderita sakit yang tak dapat disembuhkan. Ia buat dengan sepenuh hati dan mempersembahkannya dengan air mata. Ajaibnya, perempuan itu sembuh. Kau tahu kenapa? Karena cinta. Cinta lelaki itu begitu besar dan ia membuat burung itu satu per satu disertai doa dengan satu permintaan - kesembuhan perempuan yang ia cintai."

Aku tersenyum sinis. "Lelaki bodoh."

Pemuda itu mengangguk. "Benar. Tapi kebodohannya-lah yang menyebabkan perempuan itu sembuh."

Aku tertegun mendengarnya. Dan sebelum bisa mencerna apa yang ia ucapkan ia sudah melambaikan tangannya.

"Siapa namamu?" Pertanyaan itu terlontar keluar dari mulutku tanpa kusadari.

Pemuda itu menoleh. Terlihat lega. "Michael. Senang berkenalan denganmu, Re."

Ia kenal aku!
* * * * *
"Selamat siang, Re. Boleh duduk disini?"

Siang hari yang terik. Menyebabkan aku betah bertandang di kantin kampus yang terkenal ini. Kantin yang lebih pantas disebut kafe. Pantas semakin hari biaya untuk masuk ke kampus ini semakin mencekik leher.

"Tidak ada yang melarang."

Pemuda yang mengaku bernama Michael itu tersenyum. Seolah-olah ia mengerti bahwa setiap kali ia tersenyum, setitik kesejukan hadir dalam hatiku. Dan terkutuklah aku, jika tidak mengakui bahwa aku menunggu senyumnya tiap waktu!

"Mau mengantarkanku ke rumah sakit?"

Ada sesuatu di leherku yang membuatku terbatuk-batuk begitu mendengar permintaannya. "Rumah sakit?"

Ia mengangguk. "Kutunjukkan sesuatu untukmu."

Dan disinilah aku. Bersama pemuda itu. Bersama Michael. Bau yang tajam menusuk hidungku. Membuat perutku serasa diaduk-aduk. Terdengar tangis bayi dari kejauhan dan rengekan-rengekan anak-anak kecil, juga omelan dari para perawat dan orang tua yang anaknya terlalu nakal untuk diobati.

"Kau lihat anak kecil itu, Re?"

Aku mengikuti pandangannya - masuk ke ruangan berkaca yang biasa digunakan untuk para pendonor darah. Seorang anak laki-laki dengan mata terpejam membiarkan jarum suntik yang panjang itu menghisap darahnya. Di mataku, dokter itu terlihat seperti drakula yang haus darah.

"Ia harus mendonorkan darahnya untuk adiknya."

"Sekecil itu?"

"Hanya dengan darahnya, adiknya bisa sembuh."

Aku cuma mendengus ketika dokter yang kukatakan drakula itu keluar dari ruangannya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ada apa, Dok?" tanya Michael.

Dokter itu menyunggingkan senyum tak mengerti. "Anak kecil itu punya jiwa pemberani. Ia mengira setelah memberikan darahnya untuk adiknya, ia akan mati. Tapi tokh, ia tetap melakukannya. Ketika saya bertanya mengapa, ia menjawab karena ia sudah hidup lebih lama dari adiknya dan tidak adil jika adiknya menikmati hidup ini lebih pendek darinya. Dan ia mengalah." Dokter itu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi dan berlalu dari situ.

"Mungkin aku lebih mengerti perasaan anak kecil itu daripada dokter tadi. Karena cintanya pada adiknya itulah yang mendorongnya memberikan hidupnya - darahnya. Mungkin anak kecil itu belum mengerti tentang hidup, tapi ia mengerti betul tentang cinta."

Aku cuma menatapnya. Dengan tatapan yang lebih hangat - kukira.

* * * * *

Hari ini Michael mengajakku ke sebuah pernikahan. Disitulah aku - duduk manis sambil mendengarkan ikrar yang diucapkan pengantin pria dan wanita sambil tersenyum pahit. Akankah ikrar yang diucapkan hari ini masih diingat sepuluh tahun lagi? Dua puluh tahun? Atau bahkan lima puluh tahun? Bagiku, ikrar itu cuma sebuah formalitas. Suatu syarat untuk hidup bersama tanpa gunjingan dan hinaan tetangga kanan kiri.

"Tak ada yang tahu apakah ikrar itu akan terus mereka pegang sampai mereka mati. Kau benar, Re. Ikrar itu akan menjadi sebuah formalitas dan alasan klise untuk hidup bersama jika tidak didasari dengan cinta."

Aku melirik heran. Pemuda ini tahu benar perasaanku. Ia dapat membaca apa yang kupikirkan. Kadang-kadang bahkan kata-katanya dapat menelanjangi diriku - membuka apa saja yang ada dalam diriku dan memoleskan sesuatu yang baru di atasnya.

Cinta membuat ikrar yang terdengar klise itu begitu indah. Dan bukan lagi sesuatu yang harus mereka lakukan sebelum melangkah lebih jauh lagi. Karena dengan cinta, segala sesuatu yang biasa menjadi tidak biasa, yang buruk menjadi cantik dan memiliki orang-orang yang kita cintai adalah hal yang paling indah di dunia.

Aku bangkit dari tempat dudukku sambil mengatupkan geraham dan melangkah keluar. Apa yang ia tahu tentang cinta?! Papa dan Mamaku pun dulu pasti mengucapkan kata-kata yang persis dikatakan pengantin itu di hari pernikahan mereka! Lalu? Apa yang terjadi? Penyesalan! Menyesal karena pernah mencintai dan dicintai! Menyesal pernah mengungkapkan ikrar itu! Ikrar yang mungkin terlalu membelit bagaikan lumpur penghisap! Dan tak ada yang dapat mereka lakukan selain menggapai-gapai sambil menunggu uluran tangan seseorang yang mungkin takkan pernah datang!

"Aku mengerti perasaanmu, Re. Tidakkah kau sadari? Dengan cinta, Mamamu mengandung dan melahirkan engkau. Dengan cinta Papa dan Mamamu membesarkanmu. Dengan cinta juga, Papa dan Mamamu mengajarkan arti kehidupan. Sekarang kau muak dengan cinta. Padahal karena cinta pada Papamu lah yang menyebabkan Mamamu menusuk pisau itu ke perutnya sendiri. Mungkin baginya lebih baik mati daripada tidak dicintai lagi oleh Papamu. Karena cinta jugalah yang menyebabkan Papamu kalap memukul Mamamu. Bukan cinta yang patut disalahkan karena itu semua. Ibarat pisau, yang dibuat bukan untuk membunuh, tapi digunakan untuk membunuh. Bukan pisau itu yang salah, tapi si pemakainya. Begitu juga cinta, Re. Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Jika cinta tidak mendatangkan kebahagiaan, itu bukanlah cinta. Jika cinta tidak mendatangkan kedamaian, itu juga bukanlah cinta... ."

"Tutup mulutmu!" Aku memandang nanar pemuda di hadapanku sambil menutupi telingaku. "Siapa kau?! Tahu apa kau tentang aku?!" Dan untuk pertama kalinya setelah kematian Mama, air mataku mengalir. "Kau tidak tahu apa-apa tentang aku!"

Pandangan di hadapanku terlihat buram karena tertutup air mata, tapi kupaksakan kakiku melangkah cepat menjauh dari Michael - pemuda yang sudah meracuni hidupku beberapa hari ini.

"Re...!!!!!"

Aku mendengar teriakan itu. Kemudian suara klakson yang bersahut-sahutan. Disusul jeritan-jeritan tertahan dari orang-orang di sekelilingku. Kurasakan tubuhku terdorong dan menabrak pinggiran trotoar yang sudah hancur dimakan usia dan tak pernah diperbaiki. Sesaat mataku terpejam - menahan sakit yang tak terkira pada tubuhku. Seseorang menggenggam tanganku. Saat kubuka mataku, darah menetes di keningku. Wajah pemuda yang amat kukenal tersenyum hangat meskipun darahnya menetes-netes - seolah-olah tahu, hanya dengan senyumnya dapat kurasakan setitik kesejukan dalam hatiku.

"Jika kau terluka oleh cinta, dan kecewa ketika cinta itu berpaling darimu, berbahagialah karena cinta itu tumbuh di hatimu karena hanya dengan cinta kau dapat hidup, Re...."

Dunia sudah kiamat.
* * * * *
Pelan-pelan kubuka mataku. Putih. Semua putih. Dimanakah aku? Di Surga? Di Neraka? Atau tempat yang tak kukenal sama sekali? Hei! Katakan sesuatu padaku... . Tenggorokanku tersumbat. Rasa nyeri itu datang lagi - membuatku menggigit bibirku.

"Ia sudah sadar, Dok."

"Re."

Aku membuka mataku lebih lebar lagi mendengar suara itu. Suara yang sudah lama tak kudengar. Dan tatkala aku mendengarnya, aku sendiri tidak menyangka aku merindukan suara itu.

"Papa...."

"Re..., Anakku... ."

Wajah Papa yang mula-mula cuma bayangan kini terlihat jelas. Tidak kulihat lagi mata buas yang menghardikku pada malam dua tahun yang lalu itu. Tak ada lagi kemarahan dan dendam di matanya. Tangannya bahkan menggenggam tanganku lembut.

"Maafkan Papamu, Nak. Papa ... ."

Aku memegang tangannya. Rasa nyeri itu datang lagi. Bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Dan aku mengerti, waktuku tidak banyak.

"Re senang Papa mengerti. Re sudah maafkan Papa ...." Kalimatku terhenti ketika batuk yang tersembur dari mulutku mengeluarkan darah.

"Ia pendarahan, Dok!"

Aku mencegah mereka melakukan segala sesuatu yang mungkin akan menghentikan waktuku yang berharga dengan Papaku - orang yang baru kusadari amat kucintai dengan gerakan tanganku. Dokter itu mengerti dan membiarkan aku melanjutkan kalimatku.

"Pa..., pemuda itu sudah menyelamatkan Re. Bukan hanya tubuh Re, tapi juga jiwa Re. Re sudah lega, Pa. Re sudah menemukan hidup Re lagi. Semua berkat pemuda itu. Pemuda bernama Michael."

Papa mengerutkan kening. "Pemuda mana? Kau yang menyelamatkan dirimu sendiri, Re. Kau yang menghindari mobil itu."

Aku menggeleng keras. Tidak mungkin! "Tidak, Papa. Percaya sama Re. Pemuda itu juga terluka, Papa. Ia pasti juga dibawa ke rumah sakit! Michael yang menyelamatkan Re!"

Rasa nyeri itu datang lagi membuatku terbatuk-batuk makin keras dan mengeluarkan darah makin banyak. Nafasku tersengal-sengal. Tanganku semakin kuat menggenggam tangan Papa.

"Mungkin Michael seorang malaikat, ya, Pa, yang diutus Tuhan buat Re. Sudah lama hati Re beku tak kenal musim."

Aku terdiam sejenak. Kusentuh pipinya yang mulai keriput termakan usia dengan tanganku yang sudah berlumuran darah. "Pa, jika Papa terluka karena cinta dan kecewa karena cinta itu berpaling dari Papa, berbahagialah karena cinta itu tumbuh di hati Papa...."

Setetes air jatuh di lenganku. Aku tahu itu milik Papa. Dan aku yakin, Papa sama seperti aku. Kami sama-sama menemukan kembali jiwa kami. Sama-sama menutup luka di hati kami dengan sisa-sisa cinta yang kami miliki.

"Papa ... ."

"Ada apa, Re?"

"Aku melihatnya, Pa."

"Melihat apa?" Tangannya yang kekar menggenggam tanganku erat-erat seolah-olah aku akan terbang tinggi dan tak dapat ia jangkau.

"Aku melihat Michael. Ia memang seorang malaikat, Papa. Papa, lepaskan tangan Re. Re tahu mereka menjemput Re...."

Isakan Papa membuatku menoleh. "Re tahu Papa sedih. Tapi Papa juga harus tahu tugas Re sudah selesai. Re sudah temukan kembali jiwa Re dan jiwa Papa."

Genggaman tangan Papa malah makin erat.

Aku menghela nafas. "Tahukah, Papa? Cintalah yang mempertemukan kita berdua, Pa. Cinta jugalah yang memberikan nafas kehidupan buat Papa juga Re. Karena hanya dengan cintalah, manusia dapat hidup."

Pelan-pelan, kurasakan Papa meregangkan genggamannya. "Papa tahu, Re. Kalau kau ingin pergi, pergilah. Tapi ijinkanlah Papa mengucapkan sepercik kata terima kasih karena kau telah kembalikan hidup Papa."

Perlahan namun pasti Papa mencium keningku dengan penuh cinta, dan aku tahu Michael benar - betapa nikmatnya cinta itu! Michael tersenyum padaku. Ia mengulurkan tangannya. Dan untuk pertama kalinya, aku menyambut uluran tangannya dan memberikan senyum termanisku untuknya.

"Cinta itu indah, kan, Re?"

Surabaya, 7 Mei 2002
ps: Buat seseorang yang mengajarkanku arti cinta. Kupersembahkan dengan hatiku.

baca lanjutannya...