CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Saturday, April 4, 2009

nick

Nick. Cuma itu namanya. Ia bahkan tidak tahu nama keluarganya. Yang ia tahu, sejak kecil ia sudah tinggal bersama dengan seseorang yang biasa ia panggil ‘Tuan’. Kadang-kadang pemuda itu memanggilnya ‘ayah’, tapi lebih suka dengan panggilan ‘tuan’. Bukan. Tuannya bukan seseorang yang gila hormat. Tapi tuannya memang seseorang yang layak dihormati.

Menginjak remaja, ia belajar untuk bekerja pada tuannya. Tuannya itu melakukan banyak pekerjaan sekaligus. Banyak yang bekerja dengannya. Dan semuanya menghormati sang tuan. Menyayangi beliau. Meskipun pekerjaan mereka kadang-kadang menumpuk dan sulit, tapi Nick melihat mereka tetap suka bekerja dengan tuannya. Nick juga. Banyak pengalaman yang didapat dengan bekerja bersama tuan.

Kali ini, tuan mengirim Nick ke sebuah kota di Australia setelah beberapa tahun ia bekerja di beberapa kota di Indonesia. Nama kota itu: Melbourne. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba tuannya mengirim dia kesana. Ia suka juga tinggal di Indonesia. Biarpun kadang-kadang tidak habis pikir dengan tingkah laku masyarakatnya yang rupanya lebih serius memikirkan sesuatu yang tidak terlalu penting untuk dipikirkan macam keadilan dan kesejahteraan untuk negara lain atas nama persaudaraan, lebih bingung dengan penampilan fisik. Maksud Nick, mengapa mereka tidak mau lebih serius bagaimana memikirkan kesejahteraan di tubuh bangsa mereka sendiri ketimbang repot-repot mengurusi negara lain? Dan ya ampun, memangnya kenapa dengan penampilan fisik? Asal kau sehat, jiwa dan raga, bagi Nick itu sudah cukup. Peduli amat dengan iklan-iklan di tivi yang menggembar-gemborkan bahwa kulit putih itu lebih cantik, rambut panjang hitam lurus lebih menarik, tinggi langsing itu indah. Kulit hitam juga cantik jika dirawat. Bahkan bagi Nick rambut pendek keriting lebih menarik, dan kata siapa pendek mungil itu tidak menarik? Ia pernah berkenalan dengan seorang gadis yang tingginya tidak sampai seratus lima puluh sentimeter dan ia menganggap gadis itu bahkan lebih menarik daripada model iklan di majalah. Tapi mungkin karena Nick belum sanggup bekerja di Indonesia itulah yang menyebabkan tuan mengirimnya ke kota Melbourne.

Melbourne. Kota empat musim dalam sehari. Disinilah ia sekarang. Tinggal di sebuat flat kecil seharga A$ 700 per bulan. Sudah hampir dua bulan, tapi ia tahu, ia belum mengerjakan apa-apa. Hanya kebetulan mendapat pekerjaan sampingan. Berjualan baju di Victoria Market. Sebuah tempat paling favorit bagi para turis untuk membeli oleh-oleh atau souvenir murah khas Australia buat keluarga dan sahabat-sahabat mereka. Juga tempat dimana ia bisa berbelanja bahan-bahan makanan macam ikan, daging, sayuran dan buah-buahan. Pasar tradisionalnya penduduk Melbourne. Hanya tidak berbau pesing dan amis seperti pasar tradisional di Indonesia.

Baru setelah Nick tinggal di Melbourne inilah, pemuda itu mengenal transportasi baru bernama tram. Kendaraan yang unik. Itu pendapat Nick. Menggunakan tenaga listrik dan merupakan salah satu transportasi utama yang digunakan sebagian penduduk Melbourne. Ia pulang balik dari pasar ke flatnya hampir setiap hari dengan menggunakan tram. Karena itu, ia sering bertemu dengan orang-orang yang sama. Tapi tidak semua orang-orang itu dapat ia ajak bicara. Yah, sejak ia harus menggunakan tram sebagai sarana transportasi utama, ia melihat ada lima macam penumpang tram: jenis penumpang yang selalu makan (burger, sandwich, chips, dll), jenis penumpang yang menutup kupingnya dengan lagu-lagu yang dipasang dari mp3, iPod atau ponsel mereka, jenis penumpang pembaca yang menundukkan kepalanya sampai akhir perjalanan mereka, jenis penumpang berbicara baik melalui ponsel maupun dengan sesama kawan seperjalanan mereka dan jenis penumpang diam, yang hanya duduk, cepat-cepat mengambil tempat di dekat jendela kemudian melamun.

Tapi, Nick selalu mengambil kesempatan untuk, paling tidak, tersenyum tulus dari dalam hatinya sambil menyapa mereka yang kebetulan duduk disampingnya atau dihadapannya. Ketika baru pertama kali tiba di kota ini, Nick tertegun melihat kebiasaan orang-orang yang tinggal disini menyapa orang lain atau orang asing dengan ‘Hi, how’re you?’ tapi tidak benar-benar menunggu jawaban lawan bicaranya. Pernah suatu kali ia berbelanja di supermarket, sambil menghitung belanjaannya penjaga kasir yang bertugas menyapanya, “Hi, how’re you?”. Tapi jangankan menunggu jawaban Nick, penjaga itu melihat Nick pun tidak. Ia lebih sibuk mengurusi belanjaan pemuda itu dan bahkan tidak menjawab sahutan Nick. Seolah-olah sapaan itu hanya meluncur keluar dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Dan kemudian Nick terbiasa dengan sapaan itu. Berusaha beradaptasi dengan orang-orang di sekelilingnya.

Suatu petang, saat ia hendak pulang ke flatnya yang hangat (karena diluar rintik hujan di musim panas, selamat datang di Melbourne!), duduk di hadapannya seorang gadis bertubuh tambun, berambut merah, hidung bertindik dengan bintik-bintik cokelat di kedua pipinya. Jenis penumpang kategori nomor lima. Gadis itu mengenakan busana ketat yang menonjolkan payudaranya yang besar dan rok mini yang tentu saja, tidak bisa menutupi pahanya yang juga besar. Ia menghempaskan tubuhnya yang tambun itu, melihat keluar jendela, dan melirik Nick. Satu detik. Satu detik yang berharga, yang membuat Nick tidak membuang-buang waktu yang sedikit itu.

Pemuda itu tersenyum. “Hi, how’re you?” sapanya hangat.

Gadis itu mengangkat alisnya setengah tertegun. Tidak mengharapkan ada sapaan yang datang sehangat itu. Apalagi didalam tram. Tapi sejurus kemudian, ia tersenyum. Manis sekali. “Tidak jelek,” jawabnya dalam bahasa lokal. “Dan kau?”

“Sangat baik, terima kasih,” jawab Nick. “Mengapa?”

“Mengapa apa?”

Nick tertawa renyah. “Maafkan kelancangan saya. Tapi saya belajar bahwa jawaban ‘tidak jelek’ kadang-kadang bisa berarti ‘jelek sekali’.”

“Oh.” Sedetik kemudian, Nick melihat mata gadis itu berkaca-kaca. Ia lalu memakai kacamata hitam (yang tidak aneh dipakai di petang hari di musim panas di Melbourne, karena gelap baru datang tatkala jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam) untuk menutupinya. Kemudian gadis itu menatap keluar jendela lagi seolah-olah diluar ada sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet. Tapi ia memandang Nick kembali dibalik kacamata hitamnya.

“Terima kasih,” katanya, “atas kepekaanmu. Tidak banyak orang peduli padaku akhir-akhir ini.”

“Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan lancang. Berani-beraninya ia bertanya. Memang betul apa yang gadis itu katakan. Orang-orang disini kadang-kadang tidak peduli. Kau mau pakai baju aneh pun tidak akan dilirik dan dipergunjingkan oleh mereka. Berbeda sekali tatkala ia naik bemo di Indonesia, seorang gadis dengan tank top dan celana ketat pun dilirik penuh nafsu oleh penumpang laki-laki, ditatap aneh seolah-olah gadis itu salah masuk kendaraan umum dan dibicarakan habis-habisan dengan keluarga dan kawan-kawan mereka begitu ibu-ibu itu turun dari bemo.

“Thanks again.” Tapi gadis itu menggelengkan kepala. Dan ketika ia melirik keluar jendela, ia segera bangkit dan menarik kabel diatas kepalanya. Tanda pemberitahuan kepada supir tram bahwa ada penumpang yang akan turun di perhentian berikut. “So, what’s your name?”

“Nick.”

“Nick.” Gadis itu mengulanginya. “Aku Anya. Senang berkenalan denganmu.”

Sekali lagi Nick tersenyum. Tulus. “Aku juga. See ya. Have a good day.”

Dan gadis itu turun. Meninggalkan bunyi berdebum diatas lantai tram karena sepatunya yang tinggi.

*****
Gadis itu lagi. Nick mengenalinya. Dan karena cuaca mendingin menjelang musim gugur, gadis itu tak lagi mengenakan busana super mini untuk menutupi tubuhnya. Sweater merah maroon dan celana jeans panjang yang menggantikan. Tangannya menggenggam sebotol Victoria Bitter yang setengah penuh. Matanya masih saja melamun, menatap keluar jendela. Seolah-olah ada sesuatu yang menarik diluar sana diantara rumah-rumah yang berderet. Ketika Nick mendekatinya untuk duduk dihadapannya, tanpa sengaja ia menendang sebuah botol bir kosong persis seperti yang gadis itu minum.

“Oh, maaf,” kata gadis itu tersadar bahwa seseorang tanpa sengaja tersandung dengan botol bekas minumannya.

“Hi, Anya,” sapa Nick sambil mengambil botol bir kosong yang baru ia tendang itu. “Ini punyamu?”

Yang disapa cuma melongo seperti kerbau dicocok hidungnya. “Nick?”

“Senang kau masih ingat namaku.”

“Seharusnya aku yang bilang begitu.”

“Oh, tidak. Sungguh. Kadang-kadang aku bertemu orang-orang yang sama di tram ini. Kami pernah berkenalan, tapi ketika kami bertemu lagi, mereka sudah tidak ingat lagi padaku. Contohnya pria tua itu.” Nick menunjuk seorang pria tua yang duduk tak jauh dari tempat duduknya. “Hi, Eddie!” Pria tua itu menjawab sapaan Nick dengan tatapan bingung, kemudian menundukkan kepala membaca buku. “Betul kan?”

Anya tersenyum geli. Senyumnya manis sekali. Tapi Nick menduga gadis itu jarang tersenyum, lebih suka mengerutkan kening. Nick melihat bekas tanda kerutan itu di kening Anya.

“Kau tahu tidak?” Nick meneruskan. “Senyummu manis sekali.”

Anya berhenti tersenyum. Melihat keluar jendela lagi. Seolah-olah diluar ada sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet.

“Kau marah?”

Anya mendesah. Meneguk Victoria Bitter-nya yang tinggal setengah. “Dulu ia juga mengatakan hal itu.”

“Ia?”

“Siraj. Mantan pacarku. Kami baru saja putus.”

“I’m sorry.”

“It’s ok. Aku sedang berusaha melupakannya. Tapi tidak mudah.” Ia mendesah lagi. Melirik botol yang ia pegang. Tinggal seperempatnya. Gadis itu meneguk lagi. Habis.

“Kau ingin melupakannya dengan dua botol bir?”

“Empat. Aku sudah meminum dua tadi. Ini botol yang keempat. Dan botol yang kaupegang itu botolku yang ketiga.”

“You alright?”

“I’m fine.” Ia melirik lagi keluar jendela kemudian menarik kabel diatasnya. “Time to get off.” Ia tersenyum lagi. Seolah-olah menyayangkan pertemuan singkat mereka. “See ya, Nick.” Dan terhuyung-huyung gadis itu turun begitu tram berhenti.

Nick tercenung.
*****
Kemudian, entah bagaimana, sejak itu Nick jadi sering bertemu Anya. Di tram yang sama. Kadang-kadang gadis itu menggenggam Victoria Bitter di tangan yang satu, bacon burger di tangan yang lain dan Nick sudah berani mengolok-oloknya. Mana cocok bacon burger dengan bir? Dan dari pertemuan-pertemuan singkatnya dengan Anya, ia tahu bahwa gadis itu selalu melarikan diri dari masalah yang ada dengan minum bir dan makan yang banyak. Nick jadi tahu kemana larinya sisa-sisa makanan itu di tubuh Anya….

Suatu hari Anya menunjukkan foto waktu ia baru saja diwisuda. Disitu berdiri lelaki berkulit gelap, berhidung mancung, bermata lebar. “That’s Siraj,” tunjuknya.

Nick menganggukkan kepalanya. Sudah tahu. “Dan gadis cantik disebelahnya?”

Anya tertawa keras. “Itu aku, bodoh.”

Nick mendekatkan foto itu berusaha mengamati gadis yang mengenakan toga dengan teliti. “Itu kau?”

Anya mengangguk.

Nick menatap foto yang ada ditangannya lagi. Berusaha mencari sebentuk kemiripan dengan Anya yang dihadapannya sekarang. Begitu berbeda. Tapi senyum gadis yang di lembar foto itu memang milik Anya. Senyum manis khas Anya. Tapi gadis bertoga di lembar foto itu bukan gadis tambun yang duduk disebelahnya sekarang. Bukan gadis dengan lengan dan paha besar yang ia kenal beberapa hari yang lalu. Bukan. Gadis di foto itu begitu langsing. Dan lebih bahagia.
Anya mendesah lagi. “Sejak remaja aku selalu menjaga bentuk tubuhku. Karena aku beranggapan dengan tubuhku yang seperti itu aku akan lebih disukai teman-temanku. Baik teman-teman wanita maupun teman-teman pria. Kemudian waktu kuliah aku berkenalan dengan Siraj. Mahasiswa dari India. Kami satu jurusan. Kami sering satu kelompok diskusi. Aku menyukainya, karena ia, satu-satunya pria yang selalu mengatakan bahwa perempuan montok seperti aku sekarang inilah yang menarik. Terpesona dengan filosofinya, aku berpacaran dengannya. Dan aku, tak lagi menjaga bentuk tubuhku. Ia toh tak keberatan. Sampai saat ini. Bahkan ketika ia memutuskan aku pun.”

“Kau tahu mengapa ia…?”

“Memutuskan aku? Karena ia bertemu dengan perempuan sebangsanya. Lebih langsing. Lebih cantik. Lebih sepadan dengannya. Ia tak lagi tertarik dengan perempuan montok seperti aku.”

“Kau cantik. (Pipi Anya memerah) Hanya tidak bahagia. Karena kau mengukur kecantikan dari apa yang disodorkan orang-orang yang kauanggap sebagai kawan. Kau menjaga bentuk tubuhmu. Itu bagus. Tapi cobalah untuk alasan yang berbeda. Untuk kesehatan tubuhmu dan kebahagiaanmu sendiri. Karena bagaimana kau merawat tubuhmu terpancar bagaimana kau menghargai hidupmu.”

Anya terdiam. Melirik keluar jendela lagi. Seolah-olah, setelah percakapan mereka itu, ia menemukan sesuatu yang menarik diantara rumah-rumah yang berderet. Lalu ia menarik kabel diatas kepalanya. “Time to get off.” Gadis itu kembali terdiam. Hening sesaat. Dan sebelum tram itu berhenti di perhentian berikut, Anya menatap Nick dalam-dalam. “Apa pendapatmu tentang diriku?”

Nick tersenyum lebar. “Your smile is wonderful, Anya. Don’t worry be happy.”

Anya tersenyum. Manis sekali. Senyum termanis yang gadis itu pernah berikan buat Nick.
*****
Setelah percakapan itu, Nick tidak bertemu gadis itu lagi selama beberapa minggu. Ia tidak tahu kemana perginya Anya. Tapi tidak berusaha mencari. Ia masih tetap pulang balik dengan tram yang sama. Sering bertemu dengan orang-orang yang sama. Pak tua Eddie pun lama-lama menyadari kehadirannya. Sudah bisa bercakap-cakap panjang lebar. Sudah bisa bercerita bahwa pak tua itu sedang menunggu kelahiran cucunya yang ketiga dalam bulan ini. Sudah bisa bercanda dengan Nick.

Tapi Anya seperti menghilang begitu saja. Apa gadis itu menghindari Nick?

Dan sore itu ia mendapat kejutan. Seorang gadis cantik berambut merah menyapanya ketika ia sedang memesan kopi untuk diminum panas-panas di tram sepulangnya bekerja di Victoria Market.

“Hi, Nick.”

Nick terkejap. Senyum itu. “Anya?”

Gadis berambut merah itu terbahak. “That’s me!”

“Anya! Apa.. apa kabar?” Ia menyingkir setelah menerima kopinya dan mempersilahkan orang lain di belakang antriannya untuk maju.

“Very well, thanks. So? Bagaimana pendapatmu?”

Nick memandang Anya yang memutar tubuhnya bak seorang peragawati di hadapannya.

"You’re so beautiful!”

Anya tertawa renyah. Menarik Nick keluar dari Gloria Jean’s, tempat Nick membeli kopi.

“Kau mau menemaniku makan malam?”

Nick menyeruput kopinya. “Is it ok for your diet?”

Anya tertawa lagi. “Sure. Tidak apa-apa. Kata instrukturku sesekali boleh saja. Ayolah.”

Gadis itu menyeret Nick ke restoran terdekat.

Nick tahu. Malam itu ia bertemu Anya yang berbeda.
*****
Baru saja Nick dihubungi tuannya. Beliau berharap Nick melakukan tugasnya dengan baik. Nick melakukan tugasnya dengan baik. Ia berusaha sebisa-bisanya. Tapi, Anya, gadis itu memendam harapan berlebih pada dirinya.

Dan Nick kesulitan memberitahu Anya, bahwa ia hanyalah seorang malaikat yang tidak boleh punya hubungan intim dengan manusia.

Tugasnya hanya satu. Membuat dunia ini jadi lebih baik. Itu saja.


Melbourne, 10 Mei 2006
Dedicated to all girls in the world
“You are beautiful no matter what they say, words can’t bring you down….” – Beautiful by C. Aguilera

0 gave opinion(s):