CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Thursday, April 2, 2009

badai

Aku sedang mengetikkan kesimpulan terakhirku siang itu sambil tersenyum puas ketika ponselku berdering, karena itu aku tak langsung mengangkat panggilan itu. Aku yakin ini akan menjadi revisiku yang terakhir dan terbaik yang akan kuajukan pada dosenku sebagai tugas akhirku semester ini. Kulirik layar ponselku, dan nama 'papa' tertera di layar. Dengan riang aku menjawab deringnya dan menyapa papaku hangat. Hampir dua minggu ia tidak meneleponku, dan sebagai anak rantau tentu saja merupakan kebahagiaan tersendiri jika papa atau mama meneleponku.

"Halo, Pa! Kangen sama Ra?" sapaku riang.

Hening disana. Dan tiba-tiba ada secercah perasaan tak enak mendera tubuhku. Adrenalinku naik begitu cepat seolah-olah saat itu aku sedang menunggu keputusan eksekusi di pengadilan.


"Papa?" Sekali lagi aku memanggil dengan hati-hati.

Terdengar helaan nafas panjang disana, kemudian lirih kudengar, "Mama masuk rumah sakit, Ra."

Jantungku seakan berhenti berdetak. "Mama kenapa, Pa?"

Tak segera terdengar jawaban, dan waktu beberapa detik itu bagaikan beberapa abad bagiku. "Mama terkena stroke. Tiga hari yang lalu. Papa tidak langsung mengatakannya padamu, karena Papa tahu kamu sedang tes akhir."

"Tapi Pa, kenapa, bagaimana?" Aku yang biasa berceloteh jika berbincang-bincang dengan Papaku menjadi kehilangan kata-kata. Bahkan saat itu kata-kata yang biasa terucap dari mulutku menguap ditelan angin.

"Papa tidak bisa menceritakannya sekarang. Terlalu panjang untuk diceritakan di telepon."

"Tapi, Pa, bagaimana keadaan Mama sekarang?" tanyaku panik ketika Papa hendak memutuskan hubungan.

Papa menghembuskan nafas. Dan meskipun lewat telepon, aku dapat merasakan kekhawatiran Papa, kesedihan Papa. "Sudah dioperasi. Dan keadaannya akan membaik."

Dari nada suaranya aku tahu Papa cuma tak ingin membuatku khawatir. Ia tak hanya ingin menghiburku tapi juga menghibur dirinya sendiri. Papa tahu kalau aku orang yang selalu dipenuhi kekhawatiran ketika ada di tengah-tengah keadaan yang tidak beres dan tentu ia tak mau mengganggu kuliahku.

"Mama dirawat di rumah sakit mana?" tanyaku sambil berharap-harap cemas kalau-kalau Mama dirawat di rumah sakit di kota kecilku yang berarti keadaannya memang tidak terlalu parah.

"Di Semarang."

Hampir pingsan aku mendengarnya. Harapanku punah. Itu berarti keadaan Mama lebih parah dari apa yang dikatakan Papa.

"Ra akan ke Semarang nanti malam atau besok, Pa. Ra mau lihat keadaan Mama."

"Ra, Papa telepon kamu bukan menyuruhmu kesini. Papa cuma ingin kau tahu. Selesaikan dulu tugas-tugas kuliahmu. Disini sudah ada Papa, Oma dan Tante Dina. Kau tidak perlu khawatir, Mama sudah ditangani dengan baik."

"Tapi, Pa..." Bagaimana mungkin aku bisa tenang mengerjakan tugas-tugas kuliahku sementara kepalaku dipenuhi tanda tanya dan perasaan ingin tahu bagaimana keadaan Mamaku sebenarnya? Seberapa parahkah? Sudah mulai membaikkah? Atau yang lebih parah, tak ada harapan lagi?

Papa akan kabari lagi keadaan Mama selanjutnya, dan Papa akan beritahu kamu kapan kamu harus kesini. Mengerti, Ra? Selesaikan tugas-tugas kuliahmu dulu, Papa nggak mau itu semua terbengkalai. Kalau itu terjadi, kekhawatiran Papa bakal bertambah, kau tahu?
"Ya, Pa," sahutku lemah mendengar nada tegas Papa. "Ra tunggu kabar Papa selanjutnya."

Hubungan telepon kami terputus. Dan aku merasa saat ini aku cuma seonggok raga tanpa jiwa, karena jiwaku sudah meninggalkanku - pergi sendirian bersamaan dengan terputusnya hubungan teleponku dengan papa. Tak ada lagi yang kuingat. Otakku tiba-tiba kosong dan tubuhku seperti tak bertulang. Bahkan aku tak ingat dimana aku berada sekarang. Somebody help me, please!

*****
Malam itu mungkin malam yang terburuk dalam hidupku. Nafasku sudah sesak dan air mata terus mengalir turun. Sayup-sayup kudengar tawa dan canda teman-teman kost-ku. Inginnya aku bergabung dengan mereka dan tertawa bersama-sama mereka. Tapi, bahkan kakiku pun menolak untuk diperintah. Dan disinilah aku, diam diatas tempat tidurku ditemani isak tangis yang tak kunjung berhenti. Aku berpikir, seandainya aku dikaruniai sepasang sayap seperti burung, tentu sekarang aku sudah terbang dan ada di samping Mama untuk memberikan sedikit kekuatanku untuknya Tapi toh, itu hanya 'seandainya'.

Baru kusadari, betapa sayang aku pada Mamaku. Selama ini aku nyaris tak pernah berpikir demikian. Dan ketika aku menyadarinya, aku bahkan tak bisa mengungkapkannya pada Mama. Kalau memungkinkan, ingin kubuat seribu burung untuk mengajukan satu permohonan pada Tuhan yang di atas untuk menyembuhkan Mama.

Tawa canda itu kembali terdengar - mengusik telingaku. Membuat hatiku merintih dan berpikir tak ada yang peduli padaku. Dan aku berkata pada diriku, tidak! aku tidak ingin bergabung dengan mereka. Aku tak ingin menjadi munafik - tertawa padahal hatiku menangis dan gembira padahal jiwaku meratap sedih. Kutatap langit malam lewat jendela kamarku. Kadang aku ingin tegar seperti rajawali dan kuat bagai elang, tapi kenyatannya aku rapuh seperti seekor domba.

Ponselku tiba-tiba berdering. Segera kuhapus air mataku dan kuhentikan isak tangisku untuk kemudian bangkit menyambarnya sambil berharap itu kabar dari Papa. Tapi itu bukan Papa. Bukan Oma. Juga bukan Tante Dina. Cuma Josh.

"Ya?" jawabku malas.

"Ra? Kau dimana?"

"Di kamar, Josh. Ada apa?"

"Kau baik-baik saja? Suaramu tidak seperti biasanya."

Apa yang harus kujawab? Aku baik-baik saja? Pembohong! Lalu? Apa yang harus kujawab? "Yah.... Not too good...." Nah, aku tidak berbohong kan?

"Ada apa?" tanyanya lembut.

"Seharusnya aku yang bertanya, Josh."

"Aku hanya meneleponmu untuk memastikan kau baik-baik saja. Kedengarannya menggelikan, tapi aku merasa kau sedang memerlukan seseorang."

Oh, Josh. Bagaimana kau tahu itu? "Terima kasih, Josh. Hanya Mamaku."

"Mamamu? Ada apa dengan beliau? Kau bertengkar lagi dengan Mamamu?"

Jangan ingatkan aku lagi tentang pertengkaran hebatku dengan Mama waktu itu, Josh! Aku tidak ingin mengingatnya saat ini, dan betapa aku menyesalinya! "Tidak, tidak. Mama masuk rumah sakit, Josh. Stroke."

Hening sejenak. "Astaga, Ra. Itu yang kaukatakan 'hanya'? Bagaimana keadaannya? Baik-baik saja? Di rumah sakit mana?"

Mendengar pertanyaan-pertanyaan Josh, isak tangis itu mulai lagi. "Aku tidak tahu, Josh! Aku tidak tahu! Papa bilang Mama baik-baik saja, tapi aku tahu itu cuma untuk menghiburku! Seandainya aku tahu, mungkin itu bisa membuat keadaanku jadi lebih baik!"

Josh terdiam sejenak. "Ra, aku disini jika kau memerlukan aku."

Tangisku kembali meledak. "Oh, Josh, aku sendirian disini! Tak ada seorangpun yang peduli denganku! Bahkan Tuhan pun ikut diam!"

"Ra! Itu tidak benar! Tuhan ada disitu bersamamu. Aku akan kesana sebentar lagi. Tunggu aku."

"Josh! Aku tidak mau merepotkanmu. Dan lagi, ini sudah larut malam. Sudahlah, aku akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja." Kutekankan kalimat terakhir itu untukku sendiri.

"Ra... ."

"Selamat malam, Josh." Dan kututup ponselku.

Maafkan aku, Josh. Aku tahu kau peduli padaku, tapi aku tak menemukan alasan mengapa aku harus membuatmu khawatir untuk sesuatu yang rewel yang disebut 'aku'. Kuhembuskan nafasku dalam-dalam. Sering aku berkata pada diriku sendiri untuk tidak selalu manja dan menggantungkan diriku pada orang lain. Tapi, kalau Adam saja memerlukan Hawa, mengapa aku tidak boleh memerlukan orang lain disampingku?
*****
Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Disinilah aku sekarang. Di samping tempat tidur Mama yang sedang terbaring dengan alat-alat yang menancap di kepalanya dan juga tangannya. Kulihat wajahnya tampak pucat dan tubuhnya bertambah kurus. Pun demikian ia masih terlihat cantik. Just like my mom.

"Selang untuk apa itu, Pa?" tanyaku perlahan.

"Ada pembuluh darah mama yang pecah dan darahnya tersumbat di otak, dan darah itu harus disedot."

"Sampai kapan selang itu harus ada disana? Mama terlihat mengerikan dengan selang itu."

Papa menatapku tajam. "Ra. Selang itu membantu menyembuhkan Mama. Sabarlah."

Aku melengos dan melihat pasien yang sekamar dengan Mama. Seorang anak perempuan yang sebaya denganku. Dia bahkan lebih kurus dari aku, padahal teman-teman sering mengolok-olokku kalau aku orang terkurus yang mereka tahu. Bahkan Josh pun mengatakan hal yang serupa.

Josh.

Aku belum bercerita pada Mama tentang Josh. Tepatnya, belum sempat. Aku belum sempat menceritakan kedekatan kami, perasaan kami, terutama perasaanku. Aku dan Josh memang belum mengibarkan bendera cinta. Tapi aku tahu diantara kami ada cinta. Dan bendera cinta itu siap dikibarkan kapanpun kalau saja aku tidak menahan tangannya untuk mengibarkan. Aku belum siap. Entah kenapa.

Kutatap wajah Mama, dan kugenggam tangannya yang dingin. Hatiku merintih perlahan. Mama yang cerewet. Mama yang selalu ingin segala sesuatunya sempurna. Mama yang terlalu menyayangiku. Dan Mama yang ada dihadapanku ini bukan Mama yang kukenal. Mama yang dihadapanku ini begitu rapuh. Pendiam. Dingin. Aku takut mengakuinya, tapi aku hampir-hampir tidak mengenal Mamaku. Hanya wajahnya saja yang masih memancarkan kecantikan Mama yang tersamar.

"Selamat sore, Pak."

Aku terlonjak kaget dan cepat-cepat menghapus air mata yang tak sengaja meleleh di pipi karena tak mengira ada tamu pada jam segitu. Kulirik jam dinding kamar rumah sakit. Pukul empat tiga puluh lewat sedikit. Pantas orang-orang mulai berkunjung.

"Apa kabar, Pak Andre?" sahut Papa. Papa melirikku sambil memberi isyarat untuk menyapa Pak Andre yang baru datang.

Aku cuma tersenyum sambil mengulurkan tanganku.

"Ini anak Bapak yang pertama?" tanyanya sambil menunjukku.

Papa mengangguk sambil tersenyum. "Dia kuliah di Surabaya, jadi tidak pernah kelihatan. Adiknya sedang dirumah."

Pak Andre mengangguk-angguk perlahan. Kemudian perbincangan klise antara pengunjung rumah sakit dan penunggu pasien mulai. Bagaimana asal mulanya, kenapa bisa jadi seperti ini, bla bla bla. Aku duduk kembali dan menatap wajah Mama kembali sambil terus menggenggam tangannya yang dingin, sama dinginnya dengan besi-besi yang ada disamping tempat tidur Mama. Seseorang pernah mengatakan padaku bahwa sentuhan kasih sayang pada orang sakit akan mempercepat kesembuhan, dan itu yang sedang kulakukan sekarang.

"Ra," panggil Papa. "Pak Andre mengajak berdoa."

Aku bangkit dan melangkah keluar.

"Ra? Tidak ikut berdoa?" tanya Papa menghentikan langkahku sambil mengerutkan kening.

Aku menggeleng dan melangkah pergi keluar ruangan. Di lorong rumah sakit yang mulai ramai oleh pengunjung, berdirilah aku - menghirup udara disitu. Terdengar gelak tawa dari kamar sebelah, diiringi jeritan pilu dari kamar ujung lorong. Disinilah tempat banyak nyawa manusia dijemput oleh malaikat maut. Tempat yang penuh dengan tangisan dan penderitaan, meskipun sesekali terdengar ada tawa riang. Bahkan suara tawa pun bisa terdengar mengerikan memantul di dinding-dinding rumah sakit ini.

Ponselku bergetar. Kulirik nama yang tertera di layarnya. Josh. Agak lama baru kuangkat telepon itu.

"Ya, Josh."

"Ra, apa kabar?"

"Kabarku atau Mamaku?"

"Bagaimana kalau keduanya?"

"Aku baik. Dan Mamaku... aku tidak tahu."

"Tidak tahu? Apa kata Papamu dan dokter yang memeriksanya?"

"Aku tidak begitu percaya pada mereka. Yang dokter lakukan cuma sebuah hipotesis yang masih perlu pemeriksaan lebih lanjut, dan yang Papa lakukan cuma sesuatu untuk menghibur diri."

"Ra!"

"Baiklah, Josh. Kata dokter, keadaan Mama mulai membaik meskipun masih ada selang yang menancap di kepalanya."

"Selang?"

"Untuk menyedot darah Mama yang tersumbat di saluran otak. Itu kata Papa. Aku tidak tahu yang sebenarnya terjadi di dalam kepala Mama."

"Ra...!"

"Josh, aku tak tahan melihat keadaan Mama. Wanita yang sedang terbaring di dalam seperti bukan Mamaku. Ia cuma seorang wanita dengan wajah Mama."

"Kau tidak menemani Papamu?"

"Papa sedang berdoa dengan seorang pendeta."

"Dan kau tidak ikut berdoa?!"

"Haruskah?" jawabku dingin.

"Ra, cuma itu yang bisa kamu lakukan kan? Memohon pada Tuhan atas kesembuhan mamamu!"

"Aku sudah melakukan itu berhari-hari, Josh. Dan tak ada sesuatu pun terjadi. Hari ini sudah minggu kedua Mama di rumah sakit, dan aku tidak melihat tanda-tanda Tuhan menjawab doaku!"

"Ra, kau seperti seseorang yang tak pernah kukenal. Kemana Ra yang tegar? Kemana Ra yang selalu mengatakan padaku untuk menyerahkan segala kekhawatiran pada Tuhan lewat doa?"

Aku cuma diam. Memang tak ada yang ingin kukatakan untuk menanggapinya. Lagipula apa yang harus kutanggapi? Tidak ada.

"Ra, Mamamu sudah cukup membuatku kalut sekarang ini, jangan menambah kekacauan dengan sikapmu!"

"Aku hanya sedang tidak ingin berdoa, Josh, tahukah kau? Apa yang kau mengerti? Kau tidak merasakannya sendiri. Mamamu masih begitu sehat dan tak ada yang perlu kau khawatirkan. Kau hanya tidak mengerti!"

"Kalau begitu buat aku mengerti mengapa kau bersikap seperti itu."

"Josh, dengar. Aku lelah. Sudah beberapa hari terakhir ini aku tidak bisa tidur. Aku tidak mau kau meneleponku hanya untuk marah-marah padaku."

"Tapi, Ra, keadaanmu sama mengkhawatirkannya dengan keadaan Mamamu."


"Oh, Josh, kau jadi seperti dokter disini dengan segala hipotesanya. Hebat. Kau mungkin bahkan lebih hebat dari mereka karena kau melakukan hipotesa itu hanya melalui telepon!"

Josh mendesah. "Apa yang harus kulakukan, Ra?"

"Mudah. Tutup saja telepon ini. Aku sedang tidak ingin mendengar siapa-siapa."

"Ra... ."

Kumatikan ponselku tanpa mendengarkan apa katanya lagi dan menon-aktifkannya. Josh yang tidak mengerti. Josh yang selalu khawatir. Maaf, Josh. Jangankan kau, aku pun tidak mengerti mengapa aku jadi seperti ini.

"Ra."

Aku menoleh ketika Papa memanggilku.

"Pak Andre mau pulang."

Aku mengangguk dan mengulurkan tanganku untuk yang kedua kalinya padanya.

"Ra, malam ini kau tidak usah jaga Mama."

Aku menaikkan alisku. "Kenapa, Pa?"

"Nanti ada Tante Dina dan Fani yang menjaga Mama. Lagipula, Papa pikir kau butuh istirahat. Kau kurang tidur, dan wajahmu terlihat pucat."

"Papa?"

"Papa akan istirahat di hotel. Kau pulang bersama Om Yo dan lusa balik sini dengan Ade."

"Baiklah, Pa."

Paling tidak, untuk sementara aku bisa menghilangkan jeritan-jeritan pilu di lorong rumah sakit ini dari pikiranku.
*****
Rumah yang sepi. Tak ada canda Papa. Tak ada kecerewetan Mama. Sungguh berbeda dengan rumah yang kutinggalkan terakhir kali. Cuma ada Ade dan Oma. Kuletakkan kepalaku diatas bantal. Kucium bau Mama di tempat tidur ini. Dan itu malah membuatku berat memejamkan mata, padahal sudah hampir pukul satu dini hari.

Sudah kumatikan lampu dari tadi. Tapi mata ini tetap saja tidak dapat diajak kompromi. Aku lelah. Jiwa dan raga. Tapi, tubuhku ini tidak mau menurut padaku. Iseng-iseng kunyalakan ponselku yang sudah kumatikan dari tadi. Satu pesan masuk. Dari Josh.

"Ra, bukan cuma kau yang menderita. Bukan cuma kau yang bisa menangis. Kau tahu? Disini pun aku menangis. Dan Tuhan pun ikut menangis."

Aku tidak bisa berdoa seperti biasanya. Aku tak tahu. Aku hanya tak ingin. Bolehkah? Malam ini aku membaca tentang penggerutu. Seseorang yang tak pernah merasakan kebahagiaan dalam hatinya. Seseorang yang selalu mengeluh tentang segala sesuatu dan tidak mengenal arti kata ‘terima kasih’ pada Yang Di Atas yang sudah memberikan segala sesuatu. Seseorang yang berpikir ia adalah orang yang paling menderita di dunia. Ukh. Bacaan itu sudah menohokku. Perih di hati. Tapi, kukeraskan hati. Bukankah aku melakukan hal yang tepat? Aku tidak munafik seperti orang-orang lain, yang ditengah-tengah kesedihannya bahkan mengatakan kata 'bahagia'. Tersenyum ketika hatinya meratap sedih. Aku tidak seperti itu, Tuhan! Tolong. Aku tidak ingin menjadi orang yang munafik!

Jujur saja. Saat ini aku memang tidak bisa mengucapkan syukur atas apa yang terjadi pada diriku. Mengucapkan syukur? Atas penyakit Mama? Tidak salah? Tuhan, aku tahu Kau ada, tapi Kau diam. Kau biarkan aku menangis dalam kesedihan ini. Aku bahkan tak mengerti mengapa Kau biarkan ini semua terjadi. Mengapa?!

Ukh. Air mataku mengalir kembali. Dan aku benci tak berhasil menghentikannya. Kali ini kuikuti kata hatiku setelah berhari-hari aku mencoba menghindarinya. Aku berlutut dan berdoa pada-Nya. Tepatnya, memohon. Dan cuma ini yang bisa kukatakan.

"Tuhan, maafkan Ra. Ra sedang tidak bisa mengucapkan syukur. Boleh? Tapi, Ra mau berdoa buat Mama, yang Kau ijinkan sakit saat ini. Ra mohon kesembuhan Mama. Itu saja permintaan Ra malam ini. Amin."

Sudah cukup. Sudah kuungkapkan perasaanku pada Tuhan. Dan aku yakin, jauh sebelum aku mengatakannya, Ia sudah tahu.
*****
Ade membuka pintu kamarku sambil tersenyum-senyum.

"Ada apa senyum-senyum sendiri?"

"Ra, kau tidak cerita kalau sudah punya pacar?"

Aku mengerutkan kening. "Pacar?"

"Iya. P-A-C-A-R. Pacar."

"Kenapa, De?"

"Ada seseorang yang cari kamu diluar. Cowok. Siapa lagi kalau bukan pacarmu? Aku nggak pernah lihat dia disini. Pasti kan orang Surabaya?"

Aku tersentak. Tidak mungkin! Aku segera berlari keluar, dan disanalah ia. Di depan pintu rumahku - di kotaku! Aku tidak percaya!

"Ra?"

"Josh! Apa yang kau lakukan disini?"

Josh tersenyum simpul memahami kekagetanku. "Mengunjungi seseorang yang sudah membuatku tidak dapat tidur nyenyak selama berhari-hari dan mengisi doaku tiap malam."

"Josh...."

"Tidak mempersilakanku masuk?"

Aku membuka pintu lebih lebar dan menyilahkan dia masuk ke ruang tengah.

"Nah," kataku ketika kami sudah duduk di ruang tengah. "katakan padaku mengapa kau tiba-tiba ada disini. Terlalu mengejutkan bagiku."

Ia menatapku dalam-dalam. "Kau terlihat pucat, Ra."

Aku terdiam mendengar perkataannya. "Itu tidak menjawab pertanyaanku."

"Ada lingkaran hitam di bawah matamu. Dan kau terlihat lebih kurus dari biasanya."

"Josh!"

"Bukankah aku sudah mengatakan tujuanku sejak awal, Ra? Aku mengkhawatirkanmu, dan aku tidak bisa duduk diam sementara kau berjuang sendirian disini."

Aku melengos. "Aku sudah bilang, kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Mestinya kau lebih khawatir soal Mamaku daripada aku."

Ia menatapku tajam. Belum pernah kulihat dia seperti itu. "Kupikir kau lebih sakit dari Mamamu."

Kutatap dia dengan pandangan marah. "Kau bilang aku sakit? Sakit?! Apa maksudmu?"

"Dengar, Ra, aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Mamamu, tapi kau bukannya menyerahkan kekhawatiran itu pada Tuhan, kau malah marah-marah pada-Nya!"

"Lalu? Apa pedulimu? Itu urusanku dengan Tuhan. Tidak bolehkah kuungkapkan kekecewaanku pada-Nya?"

"This is not the way, Ra."

"So? Show me the way."

"Lebih tepat kukatakan kau tidak berhak marah-marah pada-Nya."

Hampir aku berteriak kencang mendengar perkataannya itu. "Josh! Saat ini aku hanya tidak bisa mengucapkan syukur pada-Nya. Kau puas? Aku memang kecewa pada-Nya. Tidak bolehkah aku berbuat demikian? Aku hanya tak mengerti mengapa Ia biarkan ini semua terjadi. Mengapa Ia biarkan aku menangis dan berdoa bermalam-malam, tapi tetap diam dan tidak berbuat apa-apa terhadap Mama? Apa kau ingin aku seperti orang-orang munafik lainnya yang tersenyum meskipun menderita dan berkata 'aku bersyukur' padahal hatinya sedang meratap? Oh, Josh, aku tidak seperti mereka!"

Plak!

Kupegang pipiku yang baru saja ditampar oleh Josh. Sorot mata Josh terlihat berapi-api setelah mendengar semua perkataanku. Dan aku yakin sorot mataku pun sama membaranya dengannya.

"Apa maksudmu dengan ini, Josh?!"

Josh menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Aku kecewa padamu, Ra. Sungguh. Dan sekarang dengarkan aku. Aku tahu kau sedih dan kesedihanmu membuat kau menderita. Aku mengerti kau tidak bisa mengucap syukur atas apa yang terjadi Mamamu. Tapi, Ra, kau bisa mengucap syukur atas hal-hal lain."

"Seperti?"

"Kau harus bersyukur kalau sampai hari ini Mamamu masih mendapatkan perawatan terbaik dari dokter. Banyak orang-orang yang punya penyakit lebih parah dari Mamamu tidak bisa mendapatkan perawatan yang seharusnya mereka dapatkan. Kau juga harus bersyukur kalau sampai hari ini Papamu masih setia merawat Mamamu dan meninggalkan pekerjaannya untuk sementara waktu. Banyak suami-suami meninggalkan istrinya yang sakit dengan suster yang digaji. Itu menunjukkan betapa sayangnya Papamu pada Mamamu dengan keadaannya yang seperti itu. Kau juga harus bersyukur bahwa saudara-saudaramu ada disekitarmu untuk menolongmu kuat menghadapi ini semua. Nah?"

Aku cuma terdiam. Bahasaku menguap. Aku kehilangan kata-kata. Tapi justru ketika aku kehilangan kata-kata itulah, jiwaku kembali. Ada secercah rasa hangat yang menyinari hatiku yang sempat membeku. Dan tangan Tuhan seperti menjamahku. Begitu hangat dan nyaman. Lalu, aku merasa, besok pagi matahari akan bersinar lebih cerah dari biasanya dalam hatiku setelah mendung itu berangsur-angsur pergi. Dan kudengar suara Tuhan berkata padaku, "AKU disini, Ra, meneteskan air mata bersamamu."
*****
Kenyataannya aku berhasil bertahan sampai minggu keempat. Hari ini wajah Mama terlihat lebih segar meskipun ia sulit bergerak dan berbicara. Selang mengerikan yang menancap di kepalanya sudah dilepas dan itu membuat ia tampak lebih Mama. Yang jelas Mama sudah dapat bereaksi terhadap sekelilingnya. Ia bahkan sudah bisa menggodaku tentang Josh. Ade yang mengatakannya. Tapi aku menikmati godaannya. Meskipun itu diucapkan dengan kata-kata yang tidak jelas.

Aku malu mengakuinya, tapi harus kuakui aku belajar banyak dari ini semua. Kusadari betapa bodohnya aku selama ini. Kupikir aku orang yang paling menderita di dunia. Kupikir aku orang yang sudah meneteskan air mata yang dapat membuat sungai meluap selama ini. Dan kupikir aku tidak munafik dengan segala hal yang sudah kulakukan. Tapi aku cuma satu dari para penggerutu itu. Yang tidak tahu terima kasih atas semua yang sudah diberikan.

Saat kutoleh kebelakang. Aku menyadari banyak yang sudah Tuhan berikan untukku dan kulupakan. Dan betapa konyolnya tiap suku kata yang aku ucapkan waktu itu. Kini, air mataku kering sudah. Yang aku miliki sekarang cuma harapan dan doa. Aku percaya dengan doa segala sesuatu yang menakjubkan dapat terjadi. Dan dengan harapanlah, kekuatan itu muncul karena manusia bisa hidup dengan harapan-harapan yang dimilikinya.

Satu lagi. Aku lupa mengatakan ini pada Josh. Ia sudah mengajarkan aku arti cinta dan kepercayaan. Bahwa ketika aku percaya, sesuatu yang tak mungkin bisa menjadi mungkin. Dan cinta menjadi kekuatan untuk itu - untuk tetap berdiri meskipun badai hebat melanda. Lebih dari itu, aku yakin akan hal ini. Josh cuma salah satu dari sekian banyak anugerah Tuhan yang dikirim lewat cinta antara jiwa seorang laki-laki dan hati seorang perempuan.

Dan kemudian kugoreskan seuntai pengalaman itu di langit-langit hatiku. Terkadang, hanya dengan penderitaanlah manusia belajar bergantung kepada Tuhan dan melalui kepahitanlah, manusia diajarkan untuk menjadi dewasa. Di lain waktu, Tuhan memang membiarkan hati kita terkoyak dan terluka supaya kita mengundang-Nya datang untuk mengobati luka itu dan mengeringkannya dengan cinta-Nya.

Kali ini, biarkan aku menangis dengan rasa syukur.

ps: Untuk seseorang yang sudah dikirim Tuhan untukku justru di saat-saat aku goyah - buat cinta dan kepedulian yang sudah aku terima. Kepadanya kupersembahkan tulisan ini.

June 25, 2003



0 gave opinion(s):