CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS

Saturday, April 4, 2009

jalan cinta

Aku menamainya: Jalan Cinta.

Bukan aku yang memberinya nama demikian. Tapi orang-orang itulah yang mengatakannya padaku. Kata mereka, Jalan Cinta sudah ada sejak mereka masih kecil. Sejak jiwaku dititipkan pada janin ibuku. Saat itu, penasaran aku seperti apa yang namanya Jalan Cinta. Kubayangkan Jalannya bersih. Tiada debu sama sekali. Di kanan kiri ada pepohonan rindang, karenanya tiap tarikan nafas jadi penuh rasa syukur. Tapi pepohonan saja tak cukup. Pasti ada bunga-bunga, yang berwarna-warni, yang beribu-ribu pula jumlahnya. Siang terasa nyaman, malam terasa damai. Persis seperti Surga. Tempat sebelum jiwaku ngendon dalam diri seorang manusia yang bernama perempuan. Ibuku.

Tetapi kenyataannya, Jalan Cinta itu rupanya seperti jalan biasa. Bersih juga tidak. Anak-anak debu dapat bermain sambil berlarian kesana kemari. Tiada pohon rindang yang bisa kusapa, hanya satu dua pepohonan menunggu datangnya musim semi. Dan lupakan tentang bunga. Aku tak tahu mengapa jalan itu dinamai Jalan Cinta.

Aku tidak pernah berhasil memerintahkan kakiku untuk melangkah sampai ke ujung jalan. Hatiku bilang ujung jalan adalah tempat terpekat dari jalan ini. Jika demikian, pikirku, mengapa jalan ini dinamai Jalan Cinta? Suatu hari kutemukan jawabnya. Waktu itu, sambil menangis aku berlari menuju Jalan Cinta. Sesampainya aku di jalan itu, kurebahkan tubuh penatku ini dan aku sesenggukan sepuasku. Hanya pohon-pohon kurus yang jadi saksi. Sampai tiba-tiba seorang lelaki mendekatiku. Wajahnya tiada tampan, apalagi rupawan. Hanya matanya menawan hatiku, membuatnya bertekuk lutut sambil menyeret kaki-kaki ini melangkah setapak demi setapak menuju ujung jalan. Tempat terpekat itu.

Tempat itu memang pekat. Kucium sejarah yang berbau amis sekaligus segar. “Dulu,” kata lelaki itu, “aku mati disini.”

“Bohong,” kataku. “Kalau kau mati, mengapa kau ada disini?”

“Aku ini sejarah. Sejarah, biarpun dibunuh berkali-kali juga tetap bangkit.”

“Sejarah, kenapa kau mati disini?”

“Aku disiksa. Aku dianiaya. Aku dibunuh.” Ia diam sejenak. “Untuk cinta.”

“Cinta macam apa yang membuatmu dibunuh?”

“Cinta tak berbalas. Cinta sejati.”

“Kalau kau tahu cintamu tak berbalas mengapa mau mati untuknya?”

Ia mengedikkan bahunya. “Aku tak tahu. Mungkin karena selain sejarah, aku juga cinta itu sendiri.”

“Ah,” kataku, “kalau aku, biarpun tak mencintaimu, takkan membiarkanmu terbunuh.”

“Tapi kau salah satu dari mereka yang sudah membunuhku!”

Suara-suara berisik itu menyentuh gendang telingaku. Teriakan bercampur makian bercampur sorakan bercampur isakan begitu mendengung. Bertalu-talu. Dan aku melihat diriku ada disana. Ikut berteriak. Ikut memaki. Ikut bersorak. Ikut juga terisak.

“Itu bukan aku!!” Tapi teriakanku hanya memantul pada dinding-dinding udara karena lelaki itu telah pergi. Entah kemana.

*****
Selalu seperti ini. Tiap kali menangis, kakiku mengajakku ke Jalan Cinta. Seolah-olah Jalan Cinta bisa menghentikan tangisku. Terkadang kutemukan, aku tidak sendiri. Ada mereka yang juga menangis, sehingga kami bisa sesenggukan bersama sebelum berpisah kembali. Sampai bertemu aku dengan Damai. Wajahnya begitu dekat di hati, meskipun tiada tampan apalagi rupawan. Dan Damai membuatku damai.

Damai berbicara sama seperti lelaki itu. Ia pernah disiksa. Ia pernah dianiaya. Ia pernah dibunuh. Yang paling mengerikan, ia juga menuduhku salah satu dari mereka yang sudah membunuhnya. Kubilang padanya, aku tak pernah membunuh siapa-siapa. Ia cuma tertawa. Tawanya menggoda, seolah-olah aku baru saja berlelucon.

Damai tidak selalu ada tatkala aku menangis. Karena kadang-kadang, tangisku begitu keras sehingga tak kurasakan kehadirannya di dekatku. Meskipun aku butuh ia, aku lebih sering membiarkan sedihku menyumbat indera perasaku.
*****
Tangisku meledak lagi. Sedih bercampur kecewa datang bertamu sambil ongkang-ongkang kaki. Kulihat ia di Jalan Cinta. Berjalan tertatih-tatih, membawa batang kayu raksasa yang jauh lebih besar daripada tubuhnya. Apa ia hendak dibunuh lagi? Pikirku.

Kulihat ia. Damai. Cinta. Sejarah.

“Siapa kau?”

“Damai.” “Cinta.” “Sejarah.”

“Sedang apa?”

“Mereka membunuhku lagi. Kau membunuhku lagi.”

“Kau takbiarkan aku datang mengusir sedihmu,” kata Damai.

“Kau biarkan aku diartikan seenak jidat oleh mereka,” tuduh Cinta.

“Kau biarkan aku berlalu begitu saja,” ucap Sejarah.

“Apa yang harus kulakukan??” teriakku.

“Katakan pada mereka. Katakan tentang seseorang yang sudah mati untukmu. Tentang ia yang membawa damai. Tentang Cinta sejati, bukan cinta absurd dan kekanak-kanakkan seperti yang dijejalkan ke mulutmu setiap hari. Tentang Sejarah penyelamatan umat manusia di muka bumi ini. Katakan pada mereka.”
*****
Aku menamainya: Jalan Cinta. Meskipun rupanya seperti jalan biasa. Meskipun jalan itu bersih juga tidak. Meskipun anak-anak debu dengan bandelnya masih berlarian kesana kemari sambil berteriak-teriak. Meskipun masih saja hanya pohon-pohon kurus yang bisa kusapa. Meskipun tiada bunga tersenyum pada matahari. Karena aku tahu mengapa Jalan itu dinamai Jalan Cinta.

Karena disitulah kutemukan Cinta sejati. Cinta yang memberi damai. Dan takkan kubiarkan Jalan Cinta itu lengang dan sepi seperti menunggu mati. Kan kusebarkan Sejarah itu. Sejarah penyelamatan umat manusia di seluruh muka bumi ini.

- published in Majalah Berkat edisi Agustus-November -

14 February 2008
11:43 pm
“Sebelum Cinta yang sebenarnya lalu bersama sang waktu…”

0 gave opinion(s):